Suatu malam
rumah Habib Ali Kwitang diketuk seseorang yang bermaksud mengundang untuk acara
selamatan sekaligus Maulidan. Kali ini beliau sedang
kurang enak badan dan dalam keadaan akan tidur.
“Tolonglah, Habib, jamaah sudah berkumpul di tempat saya. Sementara
ustadz kampung saya yang sedianya memimpin acara itu berhalangan hadir.” Mendengar
penuturan yang memelas itu, beliau segera mengajak
sang pengundang untuk berangkat.
Letak rumah pengundang itu ternyata di
kawasan kumuh dekat rel kereta api. Habib Ali memimpin pembacaan Maulid dan
menyampaikan taushiyah. Betapa senangnya sang tuan rumah dan para tamu, acara sederhana
mereka ternyata dihadiri ulama ternama nan kharismatik dari Jakarta.
Kemudian tibalah acara penutup,
yakni makan bersama. Hidangan malam itu adalah nasi putih hangat dengan lauk
belut goreng. Habib Ali pun tertegun. Ia tak suka belut. Tapi ia tak ingin
mengecewakan tuan rumah, yang tentu sudah bersusah-payah menyiapkan makanan
itu. Maka Habib berkata, “Wah, menunya lezat sekali. Saya jadi teringat istri
dan anak-anak saya. Maaf, Pak. Bolehkah makanan ini dibungkus dan saya bawa
pulang agar saya bisa menikmatinya bersama keluarga?” Tuan rumah yang mengira
Habib Ali menyukai belut segera membungkusnya untuk dibawa pulang.
Esok harinya,
pagi-pagi sekali rumah
Habib Ali diketuk seseorang. Bergegas Habib membukakan pintu. Ternyata sang
pengundang Maulid tadi malam. “Maaf, Habib…. Tampaknya Habib menyukai belut…
Kebetulan saya pedagang belut. Ini sekadar untuk Habib sekeluarga…,” katanya
sambil menyerahkan seember belut segar. Kembali Habib Ali tertegun menyaksikan
kepolosan tamunya itu. Dengan menampakkan senyum gembira, ia pun menerima
pemberian itu sambil mengucapkan terima kasih.
*******
Tokoh teladan kita yang berakhlak
mulia ini adalah Habib Ali bin Abdurrahman bin Abdullah bin Muhammad bin Husein
bin Abdurrahman bin Husein bin Abdurrahman bin Hadi bin Ahmad Al-Habsyi (Shahib
Syi’ib) bin Muhammad bin Alwi bin Abu Bakar Al-Habsyi…. Dan mata rantai
nasabnya terus bersambung hingga pada Rasulullah r.
Ia lahir di Kwitang, Jakarta Pusat,
pada 1286 H/1870 M. Ayahnya (Habib Abdurrahman bin Abdullah Al-Habsyi),
kelahiran Semarang, adalah kerabat pelukis terkenal Raden Saleh Bustaman,
seorang sayyid dari keluarga Bin Yahya. Ayahnya wafat pada 1881 dan dimakamkan
di sebidang tanah di Cikini, belakang Taman Ismail Mazuki, yang kala itu milik
Raden Saleh.
Sesuai dengan wasiat sang ayah,
Habib Ali yang saat itu masih berusia 10 tahun, dikirim ke Hadramaut untuk
belajar. Tempat pertama yang dituju adalah Rubat Habib Abdurrahman bin Alwi
Alaydrus. Gurunya di Hadramaut antara lain adalah Habib Ali bin Muhammad
Al-Habsyi (penyusun kitab Maulid, Simtud Durar). Selama 4 tahun Habib
Ali tinggal di Hadramaut. Pada tahun 1303 H./1886 M, beliau pulang.
Sesampainya di Indonesia, ia
melanjutkan ‘perburuan ilmu’ dengan berguru pada Habib Usman bin Yahya (Mufti
Batavia), Habib Husein bin Muhsin Alatas (Kramat Bogor), Habib Ahmad bin
Abdullah bin Thalib Alatas (Pekalongan), dan Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdor
(Bondowoso).
Bersamaan dengan itu, ia mulai
berdakwah dan mengajar. Masyarakat Jakarta menyambut antusias dakwahnya. Makin
hari kian banyak masyarakat yang belajar. Maka ia pun mendirikan sebuah Majlis
Taklim di Kwitang Jakarta yang
belakangan ini berkembang menjadi Islamic Center Indonesia.
Majlis Habib Ali Al-Habsyi di Kwitang merupakan Majlis Taklim pertama di
Jakarta, karena kegiatan dakwah waktu itu sangat dibatasi oleh kolonial
Belanda. Barulah setelah wafatnya Habib Ali, bermunculan banyak Majlis Taklim
di Jakarta.
*******
Pada tahun 1919 M, guru beliau Al-Habib Muhammad bin Idrus Al-Habsyi
(Surabaya) wafat. Sang guru merupakan pelopor peringatan Maulid Nabi dengan
membaca Simtud Durar yang populer dengan sebutan Maulid Habsyi ini.
Beliau berpesan kepada Habib Ali Kwitang agar melanjutkan tradisinya.
Berdasar mandat dari gurunya itu, Habib Ali Kwitang mulai merintis pembacaan
Maulid Habsyi pada tahun 1920 M, yakni setiap hari Kamis
terakhir bulan Rabiul Awal. Penyelenggaraan Maulid ini pertama kali diadakan di
Masjid Al-Makmur Tanah Abang. Ketika organisasi Rabithah Alawiyah
berdiri, perkumpulan itu mendukung Maulid tersebut dan penyelenggaraan Maulid
dipindahkan ke Jamiat Al-Khair. Sejak tahun 1937, acara Maulid
diselenggarakan di Masjid Riyad Kwitang, masjid yang dibangun Habib Ali, yang kemudian disiarkan secara khusus oleh RRI Studio Jakarta.
Habib Ali wafat tahun 1968 dalam usia 102 tahun dan dimakamkan di
sebelah Masjid Riyad yang dibangunnya. Selama hidup, ia telah menyelenggarakan
acara Maulid Nabi di Kwitang selama 51 kali tanpa henti. Betapa pun pada masa
penjajahan Jepang ia pernah dipenjara bersama KH. Agus Salim (Pahlawan
Nasional). Melalui Majlis Maulidnya ini pada era tahun 1965/Gestapu, ia
mempopulerkan Shalawat Badar untuk menandingi Genjer-genjer dari
Gerwani/PKI.
Keistiqamahan menyelenggarakan Maulid ini lalu dilanjutkan oleh sang
putra, Habib Muhammad (w. 1993), sebanyak 26 kali alias 26 tahun Hijriyah.
Kemudian kini dilanjutkan oleh cucunya, yakni Habib Abdurrahman bin Muhammad
bin Ali Al-Habsyi. Jadi, acara Maulid di Kwitang pada tiap Kamis akhir bulan
Rabiul Awwal telah berusia lebih dari 95 tahun dan tetap lestari hinggi kini
bahkan terus berkembang. Jika tiba acara itu, kampung Kwitang seakan menjadi
lautan manusia.
Tidak hanya merintis majlis Maulid di Kwitang, Habib Ali juga
menggerakkan dan menyemarakkan majlis-majlis Maulid di berbagai tempat yang
lain. Majlis Maulid yang dipadu dengan acara Haul di Solo yang dirintis oleh
Habib Alwi bin Ali bin Muhammad Al-Habsyi (putera
penyusun Simtud Durar), misalnya, rutin beliau hadiri.
Bahkan pada waktu sudah tidak dapat berjalan lagi, sehingga harus ditandu, ia
masih menyempatkan hadir. Karena itulah pihak tuan rumah Maulid (Shohibul
Maulid) di Solo menyediakan kursi khusus untuknya.
Dengan demikian Habib Ali termasuk penerus dan pelanjut tradisi
syiar dakwah yang telah semarak dimulai sejak zaman Wali Songo dahulu, yaitu
Grebek Maulid Nabi dan Sekaten (Syahadatain) di Masjid Demak, yang terus
dikenang hingga kini di Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Solo.
*******
Sementara Majlis Taklim Kwitang yang dirintisnya sekitar satu abad
yang lalu juga tetap ramai dan mempesona hingga kini. Tiap Ahad pagi, majlis
ini dihadiri sekitar 20 ribu sampai 30 ribu kaum muslimin. Ketua MUI Jakarta, KH.
Syafii Hadzami, termasuk di antara yang aktif menghadiri majlis taklimnya
selama 41 tahun (1935-1976).
Maulid Nabi dan Majlis Taklim yang dibina Habib Ali Kwitang bisa
bertahan dan terus berjaya lebih dari 1 abad, karena ajaran Islam yang
disuguhkan berlandasakan tauhid, kemurnian iman, solidaritas sosial, dan
nilai-nilai keluhuran budi atau akhlakul
karimah.
Habib Ali mengajarkan latihan kebersihan jiwa melalui tasawuf. Dia tidak pernah
mengajarkan kebencian, dengki, ataupun fitnah. Tapi justru mengembangkan
tradisi Ahlul Bait yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, menghormati hak
setiap manusia, tanpa membedakan status sosial, seperti kisah di atas.
Dalam dakwahnya, selama 80 tahun, Habib Ali selalu menganjurkan
agar kita senantiasa berbudi luhur, memegang-teguh ukhuwah
Islamiyah, dan meneladani keluhuran budi Nabi Muhammad r. Beliau juga menganjurkan kepada kita, kaum ibu khususnya, untuk tidak lupa
mendidik anak-anak agar menjadi generasi yang taat kepada Allah dan Rasulullah r.
Pada periode 1940-1960 M, bersama dengan Habib Ali bin Husein
Alatas (Bungur) dan Habib Salim bin Ahmad bin Jindan, ia dikenal di Jakarta
sebagai TIGA SERANGKAI ULAMA. Karena dalam berdakwah, mereka bertiga selalu seiring,
sejalan, dan selangkah. Hampir semua masyarakat Betawi kala itu berguru kepada
mereka.
KH. Abdullah Syafii (Pendiri Perguruan Asy-Syafiiyah), KH. Thahir
Rahili (Pendiri Perguruan At-Thahiriyah), KH. Fathullah Harun (Ulama terkenal
di Malaysia), serta banyak ulama Jakarta yang lain merupakan di antara
tokoh-tokoh besar hasil tempaan beliau. Semoga cahaya
tokoh besar nan kharismatik, penggerak acara
Maulid Nabi ini, terus memancar pada kita dan anak cucu kita semua. Aamiiin.
0 komentar:
Posting Komentar