Umat Islam kehilangan
lagi tokoh ulama terbaiknya. Syaikhina KH. Abdullah Faqih (sering dipanggil
Kyai Faqih), pengasuh pondok pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Beliau telah
wafat mendahului kita, Rabu, 29 Februari 2012 usai shalat maghrib sekitar pukul 18.30 WIB. Keluarga tidak menyangka akan
secepat itu, karena sehari sebelumnya Kyai Faqih berkunjung ke rumah putra-putra dan mengumpulkan sanak
kerabat dengan memberi hadiah yang tidak kecil kepada semua putra, cucu, dan
abdi ndalem. Beliau juga
mengutarakan telah benar-benar sehat dan ingin segera berziarah kepada
Rosululloh Muhammad SAW., sosok
mulia yang pernah mendatangi beliau.
Bumi berduka
karena perginya ulama penuh kharisma ini, meninggalkan jutaan umat. Beliau dimakamkan pada Kamis, 1 Maret 2012, sekira pukul 12.30 WIB, di antara pusara para pendahulu pengasuh
pesantren Langitan.
Semenjak malam hingga siang hari
puluhan ribu ulama, umara,
dan masyarakat berbondong-bondong menyampaikan salam perpisahan tokoh spiritual
bangsa menuju peristirahatan terakhir.
Masa Kecil dan Mencari Ilmu
Abdullah Faqih lahir di Mandungan, Widang, Tuban,
Jawa Timur pada Sabtu, 2 Mei 1932 atau 1 Muharram 1351 H. Beliau lahir dari pasangan
Kyai Rofi’i dan Nyai Khodijah. Bersaudarakan tiga orang, yaitu: Abdullah Faqih, Khozin, dan Hamim.
Namun semenjak kecil, pengasuhan mereka berada di bawah KH. Abdul Hadi Zahid,
pengasuh pondok pesantren Langitan
generasi ke empat. Ini terjadi lantaran ayahanda beliau, Kyai Rofi’i (adik Kiai
Abdul Hadi) wafat saat Abdullah Faqih masih kecil, sekira umur tujuh tahun. Ibunya,
Nyai Khodijah lalu dinikahi oleh KH. Abdul Hadi Zahid. Semenjak itulah KH.
Abdul Hadi yang mengarahkan kehidupan,
mulai mondok hingga berkeluarga
mereka.
Setelah belajar pada Ayahanda, Abdullah Faqih muda pindah dari satu tempat ke tempat lain guna mencari ilmu dan kalam
hikmah. Beliau hanya
mondok selama 4 tahun. Beliau menjalani masa-masa di medan ilmu dengan segala kekurangan dan
keprihatinan. Beliau
pernah bercerita, “Saya belajar di Lasem kurang
lebih dua tahun setengah, kebanyakan bekal teman-teman saat itu bisa dapat
24-40 kg beras. Tapi bekal saya dapat dibelikan 6 kg beras. Saya tidak pernah meminta tambahan kiriman.
Saya niati tirakat meski awalnya terpaksa. Makan ketela saja pernah. Sementara
yang paling sering sehari makan nasi ketan satu lepek dan kopi satu cangkir.
Bahkan pernah dalam bulan Ramadhan tidak sahur dan buka, tapi cuman minum
sebanyak-banyaknya.”
Selama empat tahun, Faqih muda telah mengambil ilmu dari
para guru yang utama. Mereka pakar ilmu keislaman dan selalu istiqomah
menjalankannya. Selama di Lasem beliau belajar kepada beberapa kyai, di antaranya:
KH. Baidowi, KH. Ma’shum, KH. Faturrohman, KH.
Maftuhin, KH.
Mansur, dan KH. Masduqi. Sementara di Bangilan beliau belajar di antaranya kepada KH. Fadhal. Kemudian beliau melanjutkan
pengembaraan dengan bertabarruk ke pondok-pondok lain, di
antaranya di pesantren Watu Congol yang diasuh oleh KH. Dalhar.
Dari beberapa guru di atas, KH. Ma’sum merupakan
tokoh penting dalam pembentukan karakter beliau. Bahkan KH. Ma’shum
disebut-sebut satu dari tiga tokoh yang berpengaruh dalam penempaan beliau, disamping
KH. Abdul Hadi Zahid dan Kiai Bisri (mertuanya).
Ada beberapa
kesamaan prinsip antara Kyai Ma’shum
dan Kyai Faqih. Pertama
dari sisi wirainya.
Kyai Ma’shum dikenal
sangat hati-hati dalam menerima rizki, terutama yang dikonsumsi. Sehari-hari
beliau hanya makan nasi lauk tempe dengan parutan kelapa, bahkan tidak jarang
belai makan nasi hangat saja. Bedanya, Kyai Faqih sehari-hari makan nasi dan sambal korek.
Kedua, masalah
pakaian yang sama, bahwa beliau
tidak pernah memiliki sarung lebih dari tiga. Kalau beliau punya yang baru,
pasti yang lainnya diberikan pada orang lain. Kyai Faqih demikian juga. Sampai
wafatnya beliau memiliki sarung tidak lebih dari tiga, padahal jika menghitung
hadiah dari tamu-tamu, berapa saja jumlahnya. Beliau menerima tapi tidak pernah
menyimpannya. Menerima dan langsung diberikan kepada yang lain.
Ketiga masalah
kepekaan sosial. Jika Kyai Ma’shum
saat itu berada dalam masa disintegrasi bangsa, berhadapan dengan penjajah dan
G30S PKI, maka Kyai Faqih berada
dalam pergolakan teritorial
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan maraknya liberalisme,
fundamentalisme, trans nasional, dan faham sesat. Kedua tokoh ini sama-sama
berada dalam garda depan.
Adapun kiai utama
lain beliau adalah KH.
Fadhal Senori. Beliau dikenal alim allamah. Terkenal dengan
kedisiplinannya. Tidak segan-segan
santri dihardik ketika terlambat mengaji meski hanya empat menit. “Nek gak niat ngaji mbalek wae” (kalau
tidak niat mengaji balik saja),
demikian ucapannya. Mungkin saja kedisiplinan Kyai Faqih dalam mendidik dipengaruhi
oleh sikap gurunya ini.
Pinangan Kyai Ma’shum
Selama mondok di Lasem,
KH. Ma’shum memiliki
perhatian lebih kepada Abdullah Faqih muda. Puncaknya beliau dipinang menjadi
menantu mendapatkan Nyai Hunainah, putri persusuan sekaligus kemenakan KH. Ma’shum. Nasab Nyai
Hunainah adalah binti Bisyri bin Martosuro bin Sumijo yang merupakan saudara Warijo (yang menurunkan KH. Maimun Zubair).
Mendapat lamaran
sang kyai, Abdullah
faqih muda tidak langsung bersedia. Beliau masih ragu menerima pinangan itu.
Bahkan di tengah-tengah suasana seperti ini sempat pulang ke Langitan. Sesampai di rumah beliau malah
mendapat dawuh dari KH. Abdul Hadi Zahid, “Ojo pilih-pilih tebu. Manuto opo
sing didhawuhno kyaimu.” (Jangan
pilih-pilih, ikutilah petunjuk kyaimu).
Mendengar wejangan sang
Ayah, barulah Faqih muda merasa mantap dan menerima pinangan.
Pada awal-awal
pernikahan kehidupan masih berat. Maklum ketika menikah beliau
masih berstatus sebagai santri dan belum tentu memiliki persediaan
nafkah keluarga. Namun kondisi ini dijalani dengan tabah dan sabar. Baru setelah
punya beberapa anak kondisinya mulai tertata.
‘Gus’ yang Cerdik Dan Energik
Setelah kembali ke Langitan dengan memboyong
keluarga, Abdullah Faqih
muda langsung ikut mengabdi ke pesantren. Saat itu beliau dikenal dengan Gus
Faqih. Beliau aktif mengajar dan mulai ikut menata keberadaan pondok. Dalam
pengabdiannya, beliau pernah menjadi lurah pondok dan banyak memberikan warna
dalam pemikiran serta pengembangan pesantren.
Gus Faqih dikenal
disiplin. Rajin dan terjun langsung ke kamar-kamar asrama untuk mengajak
belajar, musyawarah dan sholat malam. Begitu pula dengan ketertiban suasana,
beliau cinta kebersihan sehingga kondisi pondok yang tidak bersih akan mendapat
perhatian serius beliau.
Demikian juga beliau sangat perhatian terhadap masalah ketertiban dan keamanan.
Selain mendapat
tugas dalam, KH. Abdul
Hadi mengutus kepadanya untuk berdakwah keluar, mengisi pengajian-pengajian
agama kepada masyarakat. Dengan bekal ilmu dakwah dan retorika secara
aotudidak, gaya pidato beliau banyak disukai masyarakat. Beliau memiliki bahasa
yang santun dan berisi. Beliau berdakwah secara totalitas, tidak pernah merasa patah semangat meski kondisi saat itu sangat
berat. Jika berangkat terkadang naik sepeda pancal dan jika pulang dinaiki sepeda pancal, karena
medan yang becek habis hujan.
Waktu demi waktu
Gus Faqih berkibar di atas mimbar dan dikenal luas. Namun semua berubah ketika
datang nasihat dari salah satu gurunya. “Hidup ini pilihan, Qih (maksudnya
Abdullah Faqih). Jika engkau memilih jadi da’i kemungkinan engkau akan menjadi
orang yang tenar dan dikenal banyak orang, tapi tak punya generasi. Setelah mati, maka sirnalah engkau. Namun
jika engkau mau merawat pesantren, meski tidak begitu terkenal, namun akan memiliki banyak
generasi. Hidup adalah pilihan.”
Ungkapan sang
guru di atas sangat membekas di
hati Kyai Faqih muda, sehingga beliau mulai
menjaga jarak dengan mimbar. Beliau banyak mencurahkan tenaga dan pemikirannya
di pesantren Langitan.
Dan puncaknya adalah tahun 1971 ketika Ayahanda tercintanya kapundut.
Beliau hampir tidak pernah menerima undangan pidato kecuali pada acara-acara penting dan
berada di luar jam mengajar
pesantren.
Peka Dinamika Sosial
Meski memiliki
pesantren besar dengan berbagai kegiatan namun tidak menghalangi syaikhina
untuk melakukan perbuatan sosial.
Pada krisis ekonomi 1998,
Kyai Faqih tergerak
hati mengumpulkan para ulama guna menyikapinya. Saat itu beliau menggandeng Rabithah Ma’ahid Islami (RMI) dengan rumusan meminta dengan
hormat kepada Presiden Republik Indonesia Soeharto untuk turun dari jabatan. Bola panas terus menggelinding
dan puncaknya pada 1999, saat pemilihan umum, terjadi benturan dua kekuatan besar, yaitu partai pemenang
pemilu dan partai yang berkuasa. Masing-masing partai mengklaim akan terjadi
prahara jika tidak dari partai mereka yang menjadi presiden.
Lalu muncul poros
tengah yang mengusulkan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) menjadi presiden. Untuk
menerima lamaran itu, Gus Dur meminta restu kepada Kyai Faqih dan kyai sepuh lain yang bergabung dalam “Poros
Langit”. Awalnya beliau merasa berat untuk melepaskannya, namun karena kondisi
yang menuntut demikian,
maka dengan segala pertimbangan Kyai
Faqih pun memberikan restu. Syaifullah Yusuf, Wakil Gubernur Jawa Timur (saat
ini) membuka tabir politik, bahwa sebenarnya sosok di balik majunya Gus Dur
adalah Kyai Faqih. Dalam perkembangan selanjutnya, fatwa-fatwa Kyai Faqih menjadi rujukan
penting bagi Presiden RI yang saat itu dijabat oleh Gus Dur.
Tokoh Spritual Bangsa
Banyak yang
merasa kehilangan atas kepergian Syaikhina KH Abdullah Faqih. Bukan hanya
kalangan santri dan warga Nahdliyin, tapi Bangsa Indonesia secara umum. Menurut
pimpinan pusat muslimat NU, Khofifah Indar Parawansah, Syaikhina merupakan
salah satu pilar penyangga kekuatan
spiritual Bangsa Indonesia. Beliau mulai “berperan” terhadap bangsa Indonesia
pada awal-awal reformasi, sebagai salah satu kyai yang berjasa memecah kebuntuan dalam
konflik politik yang berkecamuk saat itu.
Sedangkan, KH.
Musthofa Bisri menyebut Syaikhina KH. Abdullah Faqih sebagai salah satu dari tiga penyangga Tanah
Jawa. Dua yang lain (sudah meninggal lebih dulu) yaitu Kyai Abdullah Salam (wafat
2001) dari Krajen, Pati, Jawa Tengah dan kyai Abdullah Abbas (wafat 2007) dari
Cirebon, Jawa Barat. Sebutan itu tak terlalu berlebihan. Kita tahu, ketiga kiai
itu sama-sama memiliki pesantren, dikenal luas sebagai pribadi yang ikhlas dan
istiqomah, juga memiliki keilmuan dan kebijaksanaan tinggi.
Bahkan
ketokohan Kyai Faqih tidak saja dikenal di dalam negeri. Banyak ulama’ yang menjalin
hubungan dengan beliau dari
Negara lain, seperti: Syekh Yasin Al-Fadani (asli Indonesia namun
bermukim di Mekkah Mukharromah), Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki
Al-Hasani, Habib Salim As-Satiri (Yaman), Habib Umar bin Muhammad bin Salim
(Hadramaut), Syaikh Prof. Dr. Solahuddin Kaftaru (Syiria), Habib Zain bin
Ibrahim bin Smith (Madinah), Habib Baharun (Yaman), dan lain sebagainya. Kyai
Faqih sangat hormat kepada para ahli ilmu. Diriwayatkan, Sayyid Muhammad bin Alawi
pernah berkata, “Aku tidak pernah melihat ahlu Jawa yang hormatnya melebihi
Syaikh Abdullah Faqih. Dan begitu pulalah sebaliknya aku. Dia memiliki posisi
tersendiri di hatiku.”
Demikianlah seorang kyai
yang low profile telah pergi. Beliau banyak berkiprah di balik layar
daripada di garda depan. Hanya dalam kondisi-kondisi darurat beliau muncul dan cepat-cepat kembali ke pangkuan pesantren jika kadar
darurat itu telah diurai.
Beberapa media datang
silih berganti ingin menulis profil beliau, namun selalu gagal karena semasa
hidup beliau memang tak
mau ditulis. Hingga beliau
wafat tidak ada satupun keterangan media yang mengungkap profil beliau panjang
lebar.
Selamat
jalan, Kyai Faqih. Doa kami menyertai Syaikhina.
How to Play Slots Online in California
BalasHapusSlots by Realtime 구미 출장마사지 Gaming and RealTime 통영 출장안마 Gaming are not available in California. casino in 순천 출장안마 the San Francisco Bay 창원 출장안마 Area, Golden Nugget and 안성 출장샵 the Elio.