Blogger news

Pages

Selasa, 01 Oktober 2013

SYAIKHINA KH. ABDULLAH FAQIH: KYAI “POROS LANGIT” DARI LANGITAN YANG PENUH TELADAN



Umat Islam kehilangan lagi tokoh ulama terbaiknya. Syaikhina KH. Abdullah Faqih (sering dipanggil Kyai Faqih), pengasuh pondok pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Beliau telah wafat mendahului kita, Rabu, 29 Februari 2012 usai shalat maghrib sekitar pukul 18.30 WIB. Keluarga tidak menyangka akan secepat itu, karena sehari sebelumnya Kyai Faqih berkunjung ke rumah putra-putra dan mengumpulkan sanak kerabat dengan memberi hadiah yang tidak kecil kepada semua putra, cucu, dan abdi ndalem. Beliau juga mengutarakan telah benar-benar sehat dan ingin segera berziarah kepada Rosululloh Muhammad SAW., sosok mulia yang pernah mendatangi beliau.
                Bumi berduka karena perginya ulama penuh kharisma ini, meninggalkan jutaan umat. Beliau dimakamkan pada Kamis, 1 Maret 2012, sekira pukul 12.30 WIB, di antara pusara para pendahulu pengasuh pesantren Langitan. Semenjak malam hingga siang hari puluhan ribu ulama, umara, dan masyarakat berbondong-bondong menyampaikan salam perpisahan tokoh spiritual bangsa menuju peristirahatan terakhir. 


Masa Kecil dan Mencari Ilmu
Abdullah Faqih lahir di Mandungan, Widang, Tuban, Jawa Timur pada Sabtu, 2 Mei 1932 atau 1 Muharram 1351 H. Beliau lahir dari pasangan Kyai Rofi’i dan Nyai Khodijah. Bersaudarakan tiga orang, yaitu: Abdullah Faqih, Khozin, dan Hamim. Namun semenjak kecil, pengasuhan mereka berada di bawah KH. Abdul Hadi Zahid, pengasuh pondok pesantren Langitan generasi ke empat. Ini terjadi lantaran ayahanda beliau, Kyai Rofi’i (adik Kiai Abdul Hadi) wafat saat Abdullah Faqih masih kecil, sekira umur tujuh tahun. Ibunya, Nyai Khodijah lalu dinikahi oleh KH. Abdul Hadi Zahid. Semenjak itulah KH. Abdul Hadi yang mengarahkan kehidupan, mulai mondok hingga berkeluarga mereka.
Setelah belajar pada Ayahanda, Abdullah Faqih muda pindah dari satu tempat ke tempat lain guna mencari ilmu dan kalam hikmah. Beliau hanya mondok selama  4 tahun. Beliau menjalani masa-masa di medan ilmu dengan segala kekurangan dan keprihatinan. Beliau pernah bercerita,Saya belajar di Lasem kurang lebih dua tahun setengah, kebanyakan bekal teman-teman saat itu bisa dapat 24-40 kg beras. Tapi bekal saya dapat dibelikan 6 kg beras. Saya tidak pernah meminta tambahan kiriman. Saya niati tirakat meski awalnya terpaksa. Makan ketela saja pernah. Sementara yang paling sering sehari makan nasi ketan satu lepek dan kopi satu cangkir. Bahkan pernah dalam bulan Ramadhan tidak sahur dan buka, tapi cuman minum sebanyak-banyaknya.”
Selama empat tahun, Faqih muda telah mengambil ilmu dari para guru yang utama. Mereka pakar ilmu keislaman dan selalu istiqomah menjalankannya. Selama di Lasem beliau belajar kepada beberapa kyai, di antaranya: KH. Baidowi, KH. Ma’shum, KH. Faturrohman, KH. Maftuhin, KH. Mansur, dan KH. Masduqi. Sementara di Bangilan beliau belajar di antaranya kepada KH. Fadhal. Kemudian beliau melanjutkan pengembaraan dengan bertabarruk ke pondok-pondok lain, di antaranya di pesantren Watu Congol yang diasuh oleh KH. Dalhar.
Dari beberapa guru di atas, KH. Ma’sum merupakan tokoh penting dalam pembentukan karakter beliau. Bahkan KH. Ma’shum disebut-sebut satu dari tiga tokoh yang berpengaruh dalam penempaan beliau, disamping KH. Abdul Hadi Zahid dan Kiai Bisri (mertuanya).
                Ada beberapa kesamaan prinsip antara Kyai Ma’shum dan Kyai Faqih. Pertama dari sisi wirainya. Kyai Ma’shum dikenal sangat hati-hati dalam menerima rizki, terutama yang dikonsumsi. Sehari-hari beliau hanya makan nasi lauk tempe dengan parutan kelapa, bahkan tidak jarang belai makan nasi hangat saja. Bedanya, Kyai Faqih sehari-hari makan nasi dan sambal korek.
                Kedua, masalah pakaian yang sama, bahwa beliau tidak pernah memiliki sarung lebih dari tiga. Kalau beliau punya yang baru, pasti yang lainnya diberikan pada orang lain. Kyai Faqih demikian juga. Sampai wafatnya beliau memiliki sarung tidak lebih dari tiga, padahal jika menghitung hadiah dari tamu-tamu, berapa saja jumlahnya. Beliau menerima tapi tidak pernah menyimpannya. Menerima dan langsung diberikan kepada yang lain.
                Ketiga masalah kepekaan sosial. Jika Kyai Ma’shum saat itu berada dalam masa disintegrasi bangsa, berhadapan dengan penjajah dan G30S PKI, maka Kyai Faqih berada dalam pergolakan teritorial wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan maraknya liberalisme, fundamentalisme, trans nasional, dan faham sesat. Kedua tokoh ini sama-sama berada dalam garda depan.
                Adapun kiai utama lain beliau adalah KH. Fadhal Senori. Beliau dikenal alim allamah. Terkenal dengan kedisiplinannya. Tidak segan-segan santri dihardik ketika terlambat mengaji meski hanya empat menit. “Nek gak niat ngaji mbalek wae” (kalau tidak niat mengaji balik saja), demikian ucapannya. Mungkin saja kedisiplinan Kyai Faqih dalam mendidik dipengaruhi oleh sikap gurunya ini.

Pinangan Kyai Ma’shum
                Selama mondok di Lasem, KH. Ma’shum memiliki perhatian lebih kepada Abdullah Faqih muda. Puncaknya beliau dipinang menjadi menantu mendapatkan Nyai Hunainah, putri persusuan sekaligus kemenakan KH. Ma’shum. Nasab Nyai Hunainah adalah binti Bisyri bin Martosuro bin Sumijo yang merupakan saudara Warijo (yang menurunkan KH. Maimun Zubair).
                Mendapat lamaran sang kyai, Abdullah faqih muda tidak langsung bersedia. Beliau masih ragu menerima pinangan itu. Bahkan di tengah-tengah suasana seperti ini sempat pulang ke Langitan. Sesampai di rumah beliau malah mendapat dawuh dari KH. Abdul Hadi Zahid, “Ojo pilih-pilih tebu. Manuto opo sing didhawuhno kyaimu. (Jangan pilih-pilih, ikutilah petunjuk kyaimu). Mendengar wejangan sang Ayah, barulah Faqih muda merasa mantap dan menerima pinangan.
                Pada awal-awal pernikahan kehidupan masih berat. Maklum ketika menikah beliau masih berstatus sebagai santri dan belum tentu memiliki persediaan nafkah keluarga. Namun kondisi ini dijalani dengan tabah dan sabar. Baru setelah punya beberapa anak kondisinya mulai tertata.

‘Gus’ yang Cerdik Dan Energik
                Setelah kembali ke Langitan dengan memboyong keluarga, Abdullah Faqih muda langsung ikut mengabdi ke pesantren. Saat itu beliau dikenal dengan Gus Faqih. Beliau aktif mengajar dan mulai ikut menata keberadaan pondok. Dalam pengabdiannya, beliau pernah menjadi lurah pondok dan banyak memberikan warna dalam pemikiran serta pengembangan pesantren.
                Gus Faqih dikenal disiplin. Rajin dan terjun langsung ke kamar-kamar asrama untuk mengajak belajar, musyawarah dan sholat malam. Begitu pula dengan ketertiban suasana, beliau cinta kebersihan sehingga kondisi pondok yang tidak bersih akan mendapat perhatian serius beliau. Demikian juga beliau sangat perhatian terhadap masalah ketertiban dan keamanan.
                Selain mendapat tugas dalam, KH. Abdul Hadi mengutus kepadanya untuk berdakwah keluar, mengisi pengajian-pengajian agama kepada masyarakat. Dengan bekal ilmu dakwah dan retorika secara aotudidak, gaya pidato beliau banyak disukai masyarakat. Beliau memiliki bahasa yang santun dan berisi. Beliau berdakwah secara totalitas, tidak pernah merasa patah semangat meski kondisi saat itu sangat berat. Jika berangkat terkadang naik sepeda pancal dan jika pulang dinaiki sepeda pancal, karena medan yang becek habis hujan.
                Waktu demi waktu Gus Faqih berkibar di atas mimbar dan dikenal luas. Namun semua berubah ketika datang nasihat dari salah satu gurunya. “Hidup ini pilihan, Qih (maksudnya Abdullah Faqih). Jika engkau memilih jadi da’i kemungkinan engkau akan menjadi orang yang tenar dan dikenal banyak orang, tapi tak punya generasi. Setelah mati, maka sirnalah engkau. Namun jika engkau mau merawat pesantren, meski tidak begitu terkenal, namun akan memiliki banyak generasi. Hidup adalah pilihan.”
                Ungkapan sang guru di atas sangat membekas di hati Kyai Faqih muda, sehingga beliau mulai menjaga jarak dengan mimbar. Beliau banyak mencurahkan tenaga dan pemikirannya di pesantren Langitan. Dan puncaknya adalah tahun 1971 ketika Ayahanda tercintanya kapundut. Beliau hampir tidak pernah menerima undangan pidato kecuali pada acara-acara penting dan berada di luar jam mengajar pesantren.
               
Peka Dinamika Sosial
                Meski memiliki pesantren besar dengan berbagai kegiatan namun tidak menghalangi syaikhina untuk melakukan perbuatan sosial. Pada krisis ekonomi 1998, Kyai Faqih tergerak hati mengumpulkan para ulama guna menyikapinya. Saat itu beliau menggandeng Rabithah Ma’ahid Islami (RMI) dengan rumusan meminta dengan hormat kepada Presiden Republik Indonesia Soeharto untuk turun dari jabatan. Bola panas terus menggelinding dan puncaknya pada 1999, saat pemilihan umum, terjadi benturan dua kekuatan besar, yaitu partai pemenang pemilu dan partai yang berkuasa. Masing-masing partai mengklaim akan terjadi prahara jika tidak dari partai mereka yang menjadi presiden.
                Lalu muncul poros tengah yang mengusulkan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) menjadi presiden. Untuk menerima lamaran itu, Gus Dur meminta restu kepada Kyai Faqih dan kyai sepuh lain yang bergabung dalam “Poros Langit”. Awalnya beliau merasa berat untuk melepaskannya, namun karena kondisi yang menuntut demikian, maka dengan segala pertimbangan Kyai Faqih pun memberikan restu. Syaifullah Yusuf, Wakil Gubernur Jawa Timur (saat ini) membuka tabir politik, bahwa sebenarnya sosok di balik majunya Gus Dur adalah Kyai Faqih. Dalam perkembangan selanjutnya, fatwa-fatwa Kyai Faqih menjadi rujukan penting bagi Presiden RI yang saat itu dijabat oleh Gus Dur.

Tokoh Spritual Bangsa
                Banyak yang merasa kehilangan atas kepergian Syaikhina KH Abdullah Faqih. Bukan hanya kalangan santri dan warga Nahdliyin, tapi Bangsa Indonesia secara umum. Menurut pimpinan pusat muslimat NU, Khofifah Indar Parawansah, Syaikhina merupakan salah satu pilar penyangga kekuatan spiritual Bangsa Indonesia. Beliau mulai “berperan” terhadap bangsa Indonesia pada awal-awal reformasi, sebagai salah satu kyai yang berjasa memecah kebuntuan dalam konflik politik yang berkecamuk saat itu.
                Sedangkan, KH. Musthofa Bisri menyebut Syaikhina KH. Abdullah Faqih sebagai salah satu dari tiga penyangga Tanah Jawa. Dua yang lain (sudah meninggal lebih dulu) yaitu Kyai Abdullah Salam (wafat 2001) dari Krajen, Pati, Jawa Tengah dan kyai Abdullah Abbas (wafat 2007) dari Cirebon, Jawa Barat. Sebutan itu tak terlalu berlebihan. Kita tahu, ketiga kiai itu sama-sama memiliki pesantren, dikenal luas sebagai pribadi yang ikhlas dan istiqomah, juga memiliki keilmuan dan kebijaksanaan tinggi.
                Bahkan ketokohan Kyai Faqih tidak saja dikenal di dalam negeri. Banyak ulama’ yang menjalin hubungan dengan beliau dari Negara lain, seperti: Syekh Yasin Al-Fadani (asli Indonesia namun bermukim di Mekkah Mukharromah), Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani, Habib Salim As-Satiri (Yaman), Habib Umar bin Muhammad bin Salim (Hadramaut), Syaikh Prof. Dr. Solahuddin Kaftaru (Syiria), Habib Zain bin Ibrahim bin Smith (Madinah), Habib Baharun (Yaman), dan lain sebagainya. Kyai Faqih sangat hormat kepada para ahli ilmu. Diriwayatkan, Sayyid Muhammad bin Alawi pernah berkata, “Aku tidak pernah melihat ahlu Jawa yang hormatnya melebihi Syaikh Abdullah Faqih. Dan begitu pulalah sebaliknya aku. Dia memiliki posisi tersendiri di hatiku.
Demikianlah seorang kyai yang low profile telah pergi. Beliau banyak berkiprah di balik layar daripada di garda depan. Hanya dalam kondisi-kondisi darurat beliau muncul dan cepat-cepat kembali ke pangkuan pesantren jika kadar darurat itu telah diurai. Beberapa media datang silih berganti ingin menulis profil beliau, namun selalu gagal karena semasa hidup beliau memang tak mau ditulis. Hingga beliau wafat tidak ada satupun keterangan media yang mengungkap profil beliau panjang lebar.
Selamat jalan, Kyai Faqih. Doa kami menyertai Syaikhina.

1 komentar:

  1. How to Play Slots Online in California
    Slots by Realtime 구미 출장마사지 Gaming and RealTime 통영 출장안마 Gaming are not available in California. casino in 순천 출장안마 the San Francisco Bay 창원 출장안마 Area, Golden Nugget and 안성 출장샵 the Elio.

    BalasHapus