Blogger news

Pages

Kamis, 28 November 2013

BID'AH SESAT DAN BID'AH NIKMAT Bag II



Setelah kami jelaskan penafsiran hadis-hadis terkait dengan bid'ah,maka berikut ini akan dikaji qorinah/indikator-indikator yang memperkuat penafsiran tersebut.


A. Penghimpunan Al Qur’an dalam Mushaf
Umar r.a. mendatangi Abu Bakar r.a dan berkata : “ Wahai kholifah Rasulillah SAW, saya melihat pembunuhan dalam peperangan Yamamah telah mengorbankan para qurro’ (penghafal Al Qur’an), bagaimana kalau engkau menghimpun Al Qur’an dalam satu mushaf?”. Khalifah menjawab,”Bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?”, Umar berkata,”Demi Alloh, ini baik!...”.Hadis ini diriwayatkan oleh al Bukhori.
Pernyataan khalifah, bahwa hal ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah,menunjukkan bahwa aktifitas tersebut adalah bid’ah dalam urusan agama,karena kalau itu hanya dalam urusan dunia tentu khalifah tidak akan menolak dengan perkataan itu. Dan dalam hadis tersebut, baik Abu Bakar maupun Zaid bin Tsabit akhirnya menerima usul dari Umar, sekalipun itu bid’ah dalam urusan agama.
Dan kalau ada yang berkata bahwa mereka yang melakukan aktifitas tersebut adalah kalangan sahabat, dan apa yang mereka lakukan tidak masuk kategori bid’ah , berdasarkan hadis Nabi SAW.
“Berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah Al khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk…” HR.Ahmad, Abu Dawud ibn Majah, At Tirmidzi, dan ia mengatakan hasan shohih.
Dalam hadis itu ada perintah dari Nabi SAW untuk mengikuti tuntunan para khalifah yang selalu mendapatkan petunjuk ilahi. Namun yang perlu dikaji dari hadis tersebut adalah sebagai berikut :
1.             Para khalifah tersebut adalah tidak terjaga dari kesalahan (tidak ma’shum ).Dan dari aspek itu,tidak berbeda dengan ulama sebagai pewaris para nabi,baik dari generasi tabi’in,tabi’ittabi’n hingga akhir jaman.
2.             Adalah hal yang baru (bid’ah) jika membatasi jumlah para khalifah itu hanya pada empat orang sahabat saja. Karena tidak diketemukan dari lisan Nabi SAW tentang batasan tersebut.Bahkan Abdullah Ahmad berkata,telah berkata kepada kami Muhammad bin Abi Bakar al Maqdisi,berkata kepada kami Yazid bin Zurai’,berkata kepada kami Ibnu ‘Aun dari Sya’bi dari Jabir bin Samurah dari Rasulullah dia bersabda,”Perkara ini (agama ini) akan tetap jaya melawan orang yang memusuhinya selama dua belas masa kekhilafahan yang semuanya berasal dari kalangan Quraisy”(HR.Al Bukhari dan Muslim dan yang lainnya). Bahkan ada ulama yang menambahi dengan Umar bin Abdul ‘Aziz (717 – 720 M) pada masa dinasti Mu’awiyyah. Dan tidak menutup kemungkinan penambahan-penambahan lainnya.Lihat Tarikh Khulafa’,karya imam As Suyuthi.
3.             Maka bisa disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Al Khulafa’ dalam hadis tersebut adalah umum. Maksudnya siapa saja yang mutamassik (berpegang teguh) dengan Al Qur’an dan as sunnah dapat dikategorikan dengan Al khulafa Ar Rasyidin al Mahdiyyin. Kajian ini berdasarkan hadis Ibnu ‘Asakir dari Al Hasan ibn Ali r.a., dimana Rasulullah SAW pernah bersabda : “Rahmat Alloh atas para khalifahku”, ada yang bertanya : “Siapa para khalifahmu ya Rasulullah?”.Beliau menjawab :”Mereka yang mencintai sunnahku dan mengajarkannya kepada manusia” (Muhammad Samiri an Nash,Mafhum bid’ah baina adldliq wa as-sa’ah,hal.19)

Jadi para ulama ahli Al Qur’an dan ahli hadis yang selalu membela keduanya dalam berdakwah adalah para khalifah Nabi SAW juga.
Dan Jika dikatakan bahwa Abu Bakar, Umar dan Zaid bin Tsabit diperkenankan berkreasi dalam urusan agama, sekalipun tidak dilakukan oleh Nabi SAW,karena mereka termasuk Al Khulafau Ar Rasyidah berdasarkan hadis tersebut. Maka berdasarkan hadis yang sama, sah-sah saja para ulama paska sahabat melakukan kreasi (ijtihad) terhadap urusan-urusan agama dengan tetap berpegang teguh pada Al Qur’an dan hadis.

B. Sholat Taraweh pada Masa Umar
Abdurrahman bin Abdul al Qori berkata ,”Saya keluar pada suatu malam bersama Umar bin Al Khattab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang sholat sendirian, ada juga yang menjadi imam sholat dari beberapa orang. Lalu Umar berkata,”Saya berpendapat, seandainya mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam yang lain, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al Khattab, dan mereka melaksanakan sholat bermakmum kepada seorang imam.Menyaksikan hal itu, Umar berkata : ‘Ni’matil bid’ah hadzihi, sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan sholat diakhir malam lebih baik daripada di awal malam ‘. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan taraweh di awal malam “ (HR.Al Bukhori & Al Malik, al Muwaththo’, I/114).
Dari hadis ini bisa disimpulkan dan ditarik pengertiannya, bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menganjurkan sholat taraweh secara bareng-bareng (berjamaah). Beliau hanya melakukan beberapa malam saja dan kemudian meninggalkannya. Itu artinya, Rasulullah tidak melakukan secara rutin tiap malam. Jadi apa yang dilakukan oleh Umar r.a. adalah sesuatu yang tergolong bid’ah dalam urusan agama, namun hasanah (baik ), terpuji. Karena itu beliau berkata :”Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.
Ada sekelompok orang yang mengomentari bahwa perkataan Umar “Ni’matul bid’ah hadzihi”, adalah yang dimaksud dengan bid’ah disini adalah bid’ah dalam pengertian bahasa, bukan dalam pengertian agama. Setiap yang mempunyai dasar rujukan (dalil) dalam agama, kemudian hal tersebut diistilahkan sebagai bid’ah, maka yang dimaksud adalah bid’ah menurut pengertian bahasa (Hammud bin Abdullah al Mathor, hal 78). Karena apa yang dilakukan oleh Umar bin al Khattab sudah pernah dilakukan Nabi, sekalipun hanya beberapa malam, Umar hanya menghidupkan kembali. Demikian pula mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf itu, sejak jaman Nabi sudah ada perintah penulisannya. Jadi, yang dilakukan oleh Umar dan Abu Bakar tersebut juga hanya sekedar membangkitkan apa yang sudah ada sebelumnya.
Menanggapi komentar mereka tersebut.Di bawah ini dipaparkan berbagai analisa proporsional sebagai berikut :
1.      Justru Hammud berpendapat bahwa segala yang ada dasar rujukan (dalil) dalam agama itu bisa disebut bid’ah, sekalipun dalam pengertian bahasa, sangat bisa diterima dan masuk akal., Karena nantinya konsekuensi logis dari pendapatnya, ia harus menerima kalau tahlilan, dzikir jama’i, do’a jama’i, dzikir bersama setelah sholat fardhu adalah bid’ah lughowiyyah (dalam pengertian bahasa) karena para ulama yang melakukan hal tersebut juga ada dalilnya.
2.      Kalau yang dilakukan Umar dalam sholat taraweh, itu sekedar menghidupkan kembali terhadap apa yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW, tentu pendapat ini mengada-ada.
a.    Karena yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, tidak dalam konteks penganjuran untuk berjamaah.Sehingga pada waktu itu ada sahabat yang sholat sendiri-sendiri atau berjamaah.Itu artinya,apa yang dilakukan oleh Umar bukanlah menghidupkan kembali apa yang pernah dilakukan oleh Nabi SAW.Karena beliau memang tidak pernah menganjurkan sholat tersebut dengan berjamaah dan dengan roka’at tertentu.
b.    Pada waktu itu Rasulullah tidak merutinkannya tiap malam selama bulan Romadlon.Dan juga tidak menetapkannya.
c.    Kalau sholat taraweh berjamaah itu sudah dianjurkan oleh Nabi, kenapa sahabat-sahabatnya tidak segera melakukannya. Bahkan pada masa Abu Bakar juga tidak melakukan anjuran tersebut. Padahal sangat diketahui kepribadian sahabat terhadap hal-hal yang baik dari Rasulullah akan bersegera melaksanakannya.
d.   Dan perkataan Umar, “Ini adalah sebaik-baiknya bid’ah’ adalah memiliki makna yang berkebalikan.Artinya, bahwa sebelumnya (terjadinya sholat taraweh secara sendiri-sendiri) adalah bid’ah yang tidak baik (bi’sati bid’ah)
e.    Dan yang terakhir, kalimat bid’ah yang diucapkan oleh Umar bin Khottob menunjukkan bahwa sholat berjamaah yang dianjurkan olehnya, memang benar-benar tidak pernah terjadi sebelumnya.Karena bid’ah dalam pengertian bahasa berarti hal-hal baru yang belum pernah ada.

Adapun pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf dianggap sudah ada perintah sebelumnya (berupa perintah penulisan ayat-ayat al Quran), sehingga apa yang diusulkan oleh Umar kepada Abu Bakar r.a. adalah bukan hal yang baru dalam agama. Pendapat ini bertentangan dengan hadis itu sendiri, dimana Abu Bakar menolak usulan Umar dengan perkataan,”Kaifa naf’al syai’an lam yaf’al hu Rasulullah SAW?”, bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?. Bagaimana mungkin ada pendapat diatas kalau Abu bakar sendiri menyatakan usulan Umar tersebut dengan kalimat ‘sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi’. Dan kalau memang itu sudah ada perintah dari Nabi SAW, tentu Umar tidak menjawab penolakan Abu Bakar tersebut dengan kalimat “Wallahi, hadza khoir”,Demi Alloh, ini baik. Seharusnya ia menjawab dengan kalimat,”hadza ma amarana Rasulullah SAW”,ini adalah sesuatu yang sudah diperintahkan oleh Nabi SAW.
Jadi, dari uraian dua kasus yang terjadi pada jaman sahabat ini, maka hadis-hadis tentang bid’ah diatas (kullu bid’atin dlolalah dan ma laisa minhu) tidak boleh dipahami hanya pada teksnya saja. Karena setelah dikontekskan dengan hadis-hadis dalam dua kasus pada jaman sahabat tersebut, bisa dipahami kalau Imam Nawawi mengartikan ‘kullu bid’atin dlolalah’ adalah kalimat umum yang harus dibatasi maknanya. Artinya, yang dimaksud dengan semua bid’ah itu sesat adalah bid’ah yang bertentangan dan tidak berdasar pada hal-hal pokok dalam syari’at Alloh SWT. Dan itulah yang disebut dengan bid’ah sayyi’ah atau madzmummah (tercela). Dan hal-hal yang baru (bid’ah) namun tidak bertentangan dengan syari’at bahkan bersesuaian, karena ada rujukan dalilnya, maka ini bisa dikategorikan sebagai bid’ah yang hasanah (baik). Dibawah ini akan dibahas pendapat sebagian para ulama Ahli Sunnah Wal Jama’ah terkait dengan pembagian bid’ah pada dua hal tersebut .(Dinukil,dari buku,Membongkar kebohongan buku’Mantan Kyai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir Syirik’}

Bersambung InsayaAlloh............

0 komentar:

Posting Komentar