Setelah kami
jelaskan penafsiran hadis-hadis terkait dengan bid'ah,maka berikut ini akan
dikaji qorinah/indikator-indikator yang memperkuat penafsiran tersebut.
A. Penghimpunan Al Qur’an dalam Mushaf
Umar r.a.
mendatangi Abu Bakar r.a dan berkata : “ Wahai kholifah Rasulillah SAW, saya
melihat pembunuhan dalam peperangan Yamamah telah mengorbankan para qurro’
(penghafal Al Qur’an), bagaimana kalau engkau menghimpun Al Qur’an dalam satu
mushaf?”. Khalifah menjawab,”Bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang belum
pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?”, Umar berkata,”Demi Alloh, ini
baik!...”.Hadis ini diriwayatkan oleh al Bukhori.
Pernyataan
khalifah, bahwa hal ini tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah,menunjukkan
bahwa aktifitas tersebut adalah bid’ah dalam urusan agama,karena kalau itu
hanya dalam urusan dunia tentu khalifah tidak akan menolak dengan perkataan
itu. Dan dalam hadis tersebut, baik Abu Bakar maupun Zaid bin Tsabit akhirnya
menerima usul dari Umar, sekalipun itu bid’ah dalam urusan agama.
Dan kalau
ada yang berkata bahwa mereka yang melakukan aktifitas tersebut adalah kalangan
sahabat, dan apa yang mereka lakukan tidak masuk kategori bid’ah , berdasarkan
hadis Nabi SAW.
“Berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah Al khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk…” HR.Ahmad, Abu Dawud ibn Majah, At Tirmidzi, dan ia mengatakan hasan shohih.
“Berpegang teguhlah kalian dengan sunnahku dan sunnah Al khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk…” HR.Ahmad, Abu Dawud ibn Majah, At Tirmidzi, dan ia mengatakan hasan shohih.
Dalam hadis
itu ada perintah dari Nabi SAW untuk mengikuti tuntunan para khalifah yang
selalu mendapatkan petunjuk ilahi. Namun yang perlu dikaji dari hadis tersebut
adalah sebagai berikut :
1.
Para
khalifah tersebut adalah tidak terjaga dari kesalahan (tidak ma’shum ).Dan dari
aspek itu,tidak berbeda dengan ulama sebagai pewaris para nabi,baik dari
generasi tabi’in,tabi’ittabi’n hingga akhir jaman.
2.
Adalah hal
yang baru (bid’ah) jika membatasi jumlah para khalifah itu hanya pada empat
orang sahabat saja. Karena tidak diketemukan dari lisan Nabi SAW tentang batasan
tersebut.Bahkan Abdullah Ahmad berkata,telah berkata kepada kami Muhammad bin
Abi Bakar al Maqdisi,berkata kepada kami Yazid bin Zurai’,berkata kepada kami
Ibnu ‘Aun dari Sya’bi dari Jabir bin Samurah dari Rasulullah dia
bersabda,”Perkara ini (agama ini) akan tetap jaya melawan orang yang
memusuhinya selama dua belas masa kekhilafahan yang semuanya berasal dari
kalangan Quraisy”(HR.Al Bukhari dan Muslim dan yang lainnya). Bahkan ada ulama
yang menambahi dengan Umar bin Abdul ‘Aziz (717 – 720 M) pada masa dinasti
Mu’awiyyah. Dan tidak menutup kemungkinan penambahan-penambahan lainnya.Lihat
Tarikh Khulafa’,karya imam As Suyuthi.
3.
Maka bisa
disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Al Khulafa’ dalam hadis tersebut adalah
umum. Maksudnya siapa saja yang mutamassik (berpegang teguh) dengan Al Qur’an
dan as sunnah dapat dikategorikan dengan Al khulafa Ar Rasyidin al Mahdiyyin.
Kajian ini berdasarkan hadis Ibnu ‘Asakir dari Al Hasan ibn Ali r.a., dimana
Rasulullah SAW pernah bersabda : “Rahmat Alloh atas para khalifahku”, ada
yang bertanya : “Siapa para khalifahmu ya Rasulullah?”.Beliau menjawab :”Mereka
yang mencintai sunnahku dan mengajarkannya kepada manusia” (Muhammad Samiri an
Nash,Mafhum bid’ah baina adldliq wa as-sa’ah,hal.19)
Jadi para ulama ahli Al Qur’an dan ahli hadis yang selalu membela keduanya dalam berdakwah adalah para khalifah Nabi SAW juga.
Dan Jika
dikatakan bahwa Abu Bakar, Umar dan Zaid bin Tsabit diperkenankan berkreasi
dalam urusan agama, sekalipun tidak dilakukan oleh Nabi SAW,karena mereka
termasuk Al Khulafau Ar Rasyidah berdasarkan hadis tersebut. Maka berdasarkan
hadis yang sama, sah-sah saja para ulama paska sahabat melakukan kreasi
(ijtihad) terhadap urusan-urusan agama dengan tetap berpegang teguh pada Al
Qur’an dan hadis.
B. Sholat Taraweh pada Masa Umar
Abdurrahman bin Abdul al Qori
berkata ,”Saya keluar pada suatu malam bersama Umar bin Al Khattab. Ternyata
orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang sholat
sendirian, ada juga yang menjadi imam sholat dari beberapa orang. Lalu Umar
berkata,”Saya berpendapat, seandainya mereka aku kumpulkan dalam satu imam,
tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab.
Malam yang lain, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al Khattab, dan mereka
melaksanakan sholat bermakmum kepada seorang imam.Menyaksikan hal itu, Umar
berkata : ‘Ni’matil bid’ah hadzihi, sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi
menunaikan sholat diakhir malam lebih baik daripada di awal malam ‘. Pada waktu
itu, orang-orang menunaikan taraweh di awal malam “ (HR.Al Bukhori & Al
Malik, al Muwaththo’, I/114).
Dari hadis ini bisa disimpulkan dan
ditarik pengertiannya, bahwa Rasulullah SAW tidak pernah menganjurkan sholat
taraweh secara bareng-bareng (berjamaah). Beliau hanya melakukan beberapa malam
saja dan kemudian meninggalkannya. Itu artinya, Rasulullah tidak melakukan
secara rutin tiap malam. Jadi apa yang dilakukan oleh Umar r.a. adalah sesuatu
yang tergolong bid’ah dalam urusan agama, namun hasanah (baik ), terpuji.
Karena itu beliau berkata :”Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.
Ada sekelompok orang yang
mengomentari bahwa perkataan Umar “Ni’matul bid’ah hadzihi”, adalah yang
dimaksud dengan bid’ah disini adalah bid’ah dalam pengertian bahasa, bukan
dalam pengertian agama. Setiap yang mempunyai dasar rujukan (dalil) dalam
agama, kemudian hal tersebut diistilahkan sebagai bid’ah, maka yang dimaksud
adalah bid’ah menurut pengertian bahasa (Hammud bin Abdullah al Mathor, hal
78). Karena apa yang dilakukan oleh Umar bin al Khattab sudah pernah dilakukan
Nabi, sekalipun hanya beberapa malam, Umar hanya menghidupkan kembali. Demikian
pula mengumpulkan Al Qur’an dalam satu mushaf itu, sejak jaman Nabi sudah ada
perintah penulisannya. Jadi, yang dilakukan oleh Umar dan Abu Bakar tersebut juga
hanya sekedar membangkitkan apa yang sudah ada sebelumnya.
Menanggapi komentar mereka
tersebut.Di bawah ini dipaparkan berbagai analisa proporsional sebagai berikut
:
1. Justru Hammud berpendapat bahwa
segala yang ada dasar rujukan (dalil) dalam agama itu bisa disebut bid’ah,
sekalipun dalam pengertian bahasa, sangat bisa diterima dan masuk akal., Karena
nantinya konsekuensi logis dari pendapatnya, ia harus menerima kalau tahlilan,
dzikir jama’i, do’a jama’i, dzikir bersama setelah sholat fardhu adalah bid’ah
lughowiyyah (dalam pengertian bahasa) karena para ulama yang melakukan hal
tersebut juga ada dalilnya.
2. Kalau yang dilakukan Umar dalam
sholat taraweh, itu sekedar menghidupkan kembali terhadap apa yang pernah
dilakukan oleh Nabi SAW, tentu pendapat ini mengada-ada.
a. Karena yang dilakukan oleh
Rasulullah SAW, tidak dalam konteks penganjuran untuk berjamaah.Sehingga pada
waktu itu ada sahabat yang sholat sendiri-sendiri atau berjamaah.Itu
artinya,apa yang dilakukan oleh Umar bukanlah menghidupkan kembali apa yang
pernah dilakukan oleh Nabi SAW.Karena beliau memang tidak pernah menganjurkan
sholat tersebut dengan berjamaah dan dengan roka’at tertentu.
b. Pada waktu itu Rasulullah tidak
merutinkannya tiap malam selama bulan Romadlon.Dan juga tidak menetapkannya.
c. Kalau sholat taraweh berjamaah itu
sudah dianjurkan oleh Nabi, kenapa sahabat-sahabatnya tidak segera
melakukannya. Bahkan pada masa Abu Bakar juga tidak melakukan anjuran tersebut.
Padahal sangat diketahui kepribadian sahabat terhadap hal-hal yang baik dari
Rasulullah akan bersegera melaksanakannya.
d. Dan perkataan Umar, “Ini adalah
sebaik-baiknya bid’ah’ adalah memiliki makna yang berkebalikan.Artinya, bahwa
sebelumnya (terjadinya sholat taraweh secara sendiri-sendiri) adalah bid’ah yang
tidak baik (bi’sati bid’ah)
e. Dan yang terakhir, kalimat bid’ah
yang diucapkan oleh Umar bin Khottob menunjukkan bahwa sholat berjamaah yang
dianjurkan olehnya, memang benar-benar tidak pernah terjadi sebelumnya.Karena
bid’ah dalam pengertian bahasa berarti hal-hal baru yang belum pernah ada.
Adapun pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf dianggap sudah ada perintah sebelumnya (berupa perintah penulisan ayat-ayat al Quran), sehingga apa yang diusulkan oleh Umar kepada Abu Bakar r.a. adalah bukan hal yang baru dalam agama. Pendapat ini bertentangan dengan hadis itu sendiri, dimana Abu Bakar menolak usulan Umar dengan perkataan,”Kaifa naf’al syai’an lam yaf’al hu Rasulullah SAW?”, bagaimana kita akan melakukan sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?. Bagaimana mungkin ada pendapat diatas kalau Abu bakar sendiri menyatakan usulan Umar tersebut dengan kalimat ‘sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi’. Dan kalau memang itu sudah ada perintah dari Nabi SAW, tentu Umar tidak menjawab penolakan Abu Bakar tersebut dengan kalimat “Wallahi, hadza khoir”,Demi Alloh, ini baik. Seharusnya ia menjawab dengan kalimat,”hadza ma amarana Rasulullah SAW”,ini adalah sesuatu yang sudah diperintahkan oleh Nabi SAW.
Jadi, dari uraian dua kasus yang
terjadi pada jaman sahabat ini, maka hadis-hadis tentang bid’ah diatas (kullu
bid’atin dlolalah dan ma laisa minhu) tidak boleh dipahami hanya pada teksnya
saja. Karena setelah dikontekskan dengan hadis-hadis dalam dua kasus pada jaman
sahabat tersebut, bisa dipahami kalau Imam Nawawi mengartikan ‘kullu bid’atin
dlolalah’ adalah kalimat umum yang harus dibatasi maknanya. Artinya, yang
dimaksud dengan semua bid’ah itu sesat adalah bid’ah yang bertentangan dan
tidak berdasar pada hal-hal pokok dalam syari’at Alloh SWT. Dan itulah yang
disebut dengan bid’ah sayyi’ah atau madzmummah (tercela). Dan hal-hal yang baru
(bid’ah) namun tidak bertentangan dengan syari’at bahkan bersesuaian, karena
ada rujukan dalilnya, maka ini bisa dikategorikan sebagai bid’ah yang hasanah
(baik). Dibawah ini akan dibahas pendapat sebagian para ulama Ahli Sunnah Wal
Jama’ah terkait dengan pembagian bid’ah pada dua hal tersebut .(Dinukil,dari
buku,Membongkar kebohongan buku’Mantan Kyai NU Menggugat Sholawat dan Dzikir
Syirik’}
Bersambung InsayaAlloh............
0 komentar:
Posting Komentar