Asembagus,
1 Sya’ban 1410 H.
... Sampai waktu acara hiburan. Grup
hadrah dari Madura tampil dengan “kostum” jas hitam, peci hitam, dan sarung
bercorak terang menyala. Sangat lucu. Mereka mendendangkan kasidah pujian
kepada Nabi Muhammad Saw. yang mereka padukan dengan gerakan-gerakan
penghormatan bersahaja. Saya mbatin, “Wah, ini ditampilkan di TIM pun, saya
kira tidak malu-maluin.”
Saya benar-benar bisa menikmati sajian
tradisional pesantren ini. Tapi hanya sebentar. Saya mendengar isak tangis.
Saya toleh; ternyata Kiai As’ad terguguk-guguk menangis, sambil berulang-ulang
melontarkan semacam takbir atau salam kepada junjungannya, junjungan kita, Nabi
Muhammad Saw. Seolah-olah sang nabi ikut rawuh di tengah-tengah majelis. Air
mata beliau berlelehan, meskipun sesekali diusap dengan sapu tangan beliau yang
lusuh. Saya melihat suatu kerinduan aneh oleh sesuatu yang melampaui
penghayatan.
Demikianlah A.
Mustofa Bisri memberikan potongan kesaksian dalam sebuah tulisan di majalah
Warta sekitar September 1990 tentang ulama besar ini. Jika dibaca utuh, maka
dari kesaksian itu tergambar, betapa beliau adalah seorang kiai sepuh yang
sederhana, berwibawa, kebapakan, akrab, humoris, lembut, dan berjiwa seni
tinggi. Siapakah beliau?
Masa Kecil dan
Menjadi Santri
Beliau adalah
KH. R. As’ad Syamsul Arifin. Lahir di Syiib Ali, sebuah perkampungan dekat
Masjidil Haram, Mekkah, pada 1897 dari pasangan Raden Ibrahim dan Siti
Maimunah. Bayi laki-laki itu diberi nama Raden As’ad yang berarti “sangat
bahagia”. Betapa tidak? Pada puncak pencapaian kematangan menuntut ilmu selama
dua puluh lima tahun di Mekkah, Raden Ibrahim mendapat karunia seorang anak
laki-laki.
Raden Ibrahim,
ayahnda Raden As’ad –yang kemudian lebih dikenal sebagai Kiai Syamsul
Arifin—masih keturunan Sunan Ampel. Sedangkan ibunya merupakan titisan darah
bangsawan dari Tumenggung Tirtonegoro atau Bendara Saud, salah seorang Bupati
Sumenep, dan masih keturunan Pengeran Ketandur, cucu Sunan Kudus.
Ketika berumur
6 tahun, Raden As’ad diajak orang tuanya pulang kampung ke PP Kembang Kuning,
Pamekasan. Di PP ini Kiai Syamsul membantu abahnya, Kiai Ruham, mengajar para
santri. Tidak berapa lama, Siti Maimunah, ibunda Raden As’ad meninggal dunia.
Menginjak usia 11 tahun, Raden As’ad diajak
ayahnya menyeberangi laut untuk menyebarkan Islam ke tempat lain. Mereka lalu membabat
hutan di sebelah timur Asembagus dan sebelah barat hutan Baluran. Daerah itu terkenal
angker. Dulu tidak ada orang, kecuali harimau dan ular berbisa. Di bekas hutan
itu, mereka membangun permukiman yang kemudian menjadi Desa Sukorejo. Mereka
juga membangun mushala yang menjadi cikal-bakal pesantren Sukorejo saat ini.
Setelah malang melintang di berbagai pesantren beliau melanjutkan studinya ke Mekkah al-Mukarramah dan berguru kepada ulama’-ulama besar, seperti Sayyid Muhammad Amin Al-Qutby, Syekh Hasan Al-Massad, Sayyid Hasan Al-Yamani, Syekh Abbas Al-Maliki, serta beberapa ulama besar lainnya.
Ketika berangkat mondok, Raden As’ad hanya menggunakan keranjang sebagai tempat pakaian dan bahan makanan. Pernah suatu saat, ayahndanya membelikan koper dan mengutus santri untuk menyerahkan kepada Raden As’ad. Tetapi, ia menolak. Ia lebih senang hidup sederhana. Selama mondok pun, ia hidup mandiri. Ia tak mau merepotkan orang tuanya, karena itu mereka tak pernah mengiriminya. Kadang-kadang Raden As’ad mondok sambil berjualan tikar.
Raden As’ad selama mondok selalu dekat dengan sang Kiai pondok tersebut. Semua Kiai mempunyai keistimewaan tersendiri. Tetapi beliau sangat terkesan pada dua sosok Kiai, yakni Kiai Cholil Bangkalan dan Kiai Hasyim Asy’ari Tebu Ireng Jombang. Kenang beliau, “Saya mendapat barakah dari dua Kiai besar ini. Saya merasa benar-benar jatuh cinta pada kedua Kiai ini. Karena itu, semangat saya untuk menyerap pelajaran dari Kiai ini, masyaAllah, besar sekali!”
Maka tak heran jika Raden As’ad tidak akan berhenti menuntut ilmu pada seorang Kiai sebelum pernah mencicipi ‘madunya’ ilmu kiai itu. Dan ketika liburan pun, bukan berarti beliau libur mengaji. Abahnya akan selalu memberi tugas. Misalnya menghapal Nazham Alfiyyah, yang berhasil dikhatamkannya dalam 40 hari, juga Nazham Imrithi yang berhasil hapal luar kepala dalam 21 hari. Juga kitab-kitab yang lain.
Kiai Syamsul mengharapkan anaknya tidak berlebih-lebihan dalam mengerjakan sesuatu, termasuk dalam hal belajar. Seorang santri harus memperhatikan kondisi jasmaniahnya, agar ia tetap sehat dan nyaman ketika belajar dan beribadah. Pesan abahnya, “Lapar, ngakan! Ketondu, tedung! Jek sampek lapar karna lapar meposang dek pekeran! (Lapar, makanlah! Ngantuk, tidurlah! Jangan sampai kelaparan, karena lapar membuat linglung berpikir!)”
Selepas wafatnya Kiai Syamsul Arifin pada 1951, Raden As’ad diamanahi untuk memimpin pondok pesantren Sukorejo tersebut.
Kiai As’ad dan NU
Belum lengkap rasanya cerita NU tanpa peranan ulama besar ini. Kiai As’ad adalah sosok kiai yang dari awal telah menganut paham-paham ahl al-sunnah wa al-jama’ah dan selalu menghiasi kehidupan dalam kesehariannya dengan budaya-budaya ke-NU-an.
Saat menjadi santri KH. Cholil bangkalan, Kiai As’ad muda menjadi santri kesayangan gurunya sehingga pada masa di mana terjadi peralihan Perkumpulan Ulama dalam “ Komite Hijaz “ menjadi “jam’iyah”, Kiai As’ad muda menjadi satu-satunya mediator dalam penyampaian isyarah KH. Cholil kepada KH. Hasyim Asy’ari, Jombang. Beliau diutus oleh Kiai Cholil pada tahun 1924 untuk menyampaikan satu tongkat disertai Surat Thaha ayat 17 s.d. 23 serta pada tahun 1925 beliau kembali diutus menyampaikan hasil istikharah gurunya kepada KH. Hasyim As’ari. Ketika itu, beliau kembali ke Jombang dengan seuntai tasbih dan bacaan “Ya Jabbar, Ya Qahhar 3x”.
Pada tahun 1945, ketika Laskar Hisbullah dibentuk, Kiai As’ad langsung bergabung dan memimpin pasukan bergerilya di daerah Besuki dan sekitarnya. Uniknya, pasukan yang beliau pimpin adalah bara mantan bajingan. Mereka dihimpun dalam Barisan Pelopor yang kemudian mengambil peran dalam perjuangan kemerdekaan dan penumpasan PKI di Situbondo 1965.
Setelah pemilu 1955, Kiai As’ad menjadi anggota Konstituante sampai tahun 1959. Setelah lembaga itu dibubarkan oleh Bung Karno, beliau tidak banyak beraktivitas di bidang politik. Pada tahun 1971, Kiai As’ad menjadi DPRD Kabupaten Situbondo dan pada tahun 1977 beliau mendukung PPP, karena NU saat itu mendukung PPP.
Selain itu, Kiai As’ad merupakan salah satu di antara sekian ulama yang selalu menjembati persoalan-persoalan yang terjadi antara pemerintah dan umat Islam, khususnya warga NU. Sikapnya yang tegas dan tangkas serta bijaksana membuat beliau mampu memainkan perannya sebagai ulama’ NU (pengayom masyarakat) sekaligus sebagai politisi yang arif.
Kebijakan-kebijakan kembali dibuktikan pada tahun 1982 mengenai masalah mata pelajaran PMP yang menjadi kontroversi antara umat Islam dan pemerintah. Tanpa banyak bicara beliau langsung menemui presiden Soeharto dan menunjukkan beberapa hal yang mestinya dikoreksi. Tidak berapa lama, dalam tahun itu juga PMP yang menuai kontroversi tersebut direvisi dan disempurnakan oleh pemerintah.
Begitu pula ketika terjadi konflik antara Muslimin Indonesia vs NU dalam tubuh PPP dan rencana pemerintah memberlakukan Pancasila sebagai satu-satunya azas Organisasi Sosial, Politik maupun Kemasyarakatan, tiba-tiba di PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo berkumpul ratusan Ulama’ NU untuk mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) yang berlangsung pada tanggal 18-21 Desember 1983. Ketika semua Ormas Islam banyak menolak azas Pancasila, justru Munas menerimanya dan menganggapnya tidak bertentangan dengan aqidah Islam. Munas tersebut juga memutuskan mengembalikan NU ke garis dan landasan asalnya, yang kemudian populer dengan istilah kembali ke Khittah 1926. Inilah sebagian dari peran Kiai As’ad dalam memulihkan keutuhan NU dan umat Islam di negeri ini.
Beliau juga dengan kearifannya pernah melakukan mufaraqah (berpisah) pada saat kepemimpinan NU di bawah KH. Abdurrahman Wahid, karena dirasakan sebagai ketua telah melenceng, yang beliau ibaratkan sebagai imam shalat yang telah kentut. Peristiwa ini terjadi pada Muktamar NU ke-28 di Krepyak, Yogyakarta.
Kemandirian dan Kesederhanaan Kiai As’ad
Selain sebagai Kiai, ternyata beliau juga seorang wiraswastawan. Hal itulah yang membuat sikapnya mandiri dan independen. Di Situbondo dan Asembagus beliau memiliki tujuh toko yang cukup besar. Di kawasan wisata pantai pasir putih Situbondo, beliau memiliki dua restoran. Begitu pun di pulau dewata Bali. Beliau juga memiliki restoran di Makkah, tempatnya dulu menuntut ilmu. Tidak hanya itu, beliau juga mempunyai rumah berlantai tujuh yang setiap musim haji disewakan untuk penginapan jamaah haji. Belum lagi sawah, tambak, dan perahu, serta aset-aset kekayaan lainnya.
Lalu, untuk kepentingan apakah beliau harus berwiraswasta? Ternyata semua penghasilan beliau digunakan untuk menyejahterakan rakyat kecil. Saat menjadi pemimpin pesantren, beliau mengkavling tanah seluas 20 hektar di sekitar pesantren. Tanah itu kemudian dibagikan kepada masyarakat agar dijadikan sebagai tempat tinggal dengan harga jual yang sangat murah dan hanya beberapa bidang tanah yang digunakan untuk pesantren.
Kalau kamar santri dan bangunan lainnya terbuat dari tembok permanen, tetapi rumah yang beliau tempati hanyalah bangunan semi permanen yang ukurannya kurang lebih 3×6 meter. Rumah yang terletak di antara asrama santri wanita dan santri pria itu tergolong paling jelek di Desa Sukorejo. Di dalamnya hanya ada amben (ranjang)yang telah dimakan usia dan dialasi tikar pandan dalam ruang berlantaikan tanah. Tapi tidak sembarang tamu boleh berkunjung ke rumah itu – sebab yang diterima di sana hanya yang sudah dianggap keluarga. Para pejabat, dari lurah sampai menteri, diterima di rumah yang lebih bagus, milik anaknya. Di rumah si anak tersedia ruang berukuran sekitar 30 m2 yang digelari permadani untuk tamu yang ingin bermalam, atau terpaksa bermalam, menanti giliran menemui Kiai, yang semua gigi atasnya sudah tanggal itu.
Pakaian yang dikenakannya dalam segala situasi pun tetap, yaitu terdiri dari baju putih, sarung palekat putih, kopiah putih, dan sandal selop.
Kiai As’ad dan Pesantren Sukorejo
Pesantren Sukorejo di bawah K.H.R. As’ad Syamsul Arifin berkembang dengan pesat. Terletak di pinggir jalan raya Situbondo Banyuwangi, 7 km sebelah timur Kecamatan Asembagus. Di pintu gerbangnya tertulis bahasa Arab “Ahlan Wa Sahlan” dan bahasa Inggris “Welcome”. Di pondok ini selain dikembangkan pendidikan gaya pesantren, juga ditumbuhkan pendidikan umum, SMP, SMA, dan Universitas Ibrahimy. Santri yang mengaji di pesantren ribuan jumlahnya. Kompleks ini sendiri dijuluki “kota santri”. Apalagi ada lapangan di tengah pondok dan santri setiap saat terlihat main bola dengan memakai sarung.
Di pondok ini ada sebuah masjid yang tidak begitu besar. Tetapi As’ad membangun masjid yang jauh lebih besar di luar kompleks Barangkali dimaksudkan agar para santri lebih menyatu dengan masyarakat sekitarnya.
Dari pernikahan Kiai As’ad dengan Zubaidah, seorang gadis Madura, di tengah gejolak perjuangan (1939), beliau dikaruniai lima orang anak. Si bungsu, satu-satunya lelaki, adalah KH. Ahmad Fawaid. Ketika beliau sudah terbilang sepuh, anak bungsunya itu masih sangat muda. Sehingga hal ini turut memberikan kekhawatiran terhadap keberlangsungan pesantren. Apalagi setelah memegang kepemimpinan pondok, KH. Ahmad Fawaid pun wafat dalam usia yang masih relatif muda (43 tahun) pada 9 Maret 2012. Kini kepemimpinan pondok diserahkan kepada keponakan Kiai As’ad, yakni KH. Azaim. Beliau pernah mondok di beberapa pesantren, termasuk PP Nurul Haromain Pujon di bawah asuhan KH. Ihya’ Ulumiddin dan juga di Rusaifah Makkah di bawah asuhan Abuya As-Sayid Muhammad bin Alawi al-Maliki.
Sisi Lain Kiai As’ad
Di sela-sela kesibukannya dengan pesantren, kiai memiliki aktivitas lain yang tak kalah menarik. Beliau rajin memelihara tanaman hias. Beliau juga pernah mempunyai seekor kuda putih, warna kegemarannya. “Nabi Ibrahim kudanya juga putih,” katanya tentang kuda itu. Sayang, kuda itu telah mati dan belum ditemukan kuda putih sebagai pengganti. Beliau pun punya “kuda” lain yang lebih gesit, yaitu sebuah mobil colt. Juga putih warnanya.
Selain rajin mengurusi enam ekor ayam hutannya, kiai ini juga memelihara seekor burung beo yang pintar berbicara. Jika ada tamu yang datang, burung itu memberi salam: assalamu’alaikum. Dan bila sang tamu membalas tegur sapa sang beo, biasanya tamu lantas ketawa, lantaran si beo membalas dengan kata-kata assooiiii… Tapi burung beo itu pun, menurut santri di sana, menyerukan Allahuakbar bila bergema suara azan.
Kiai As’ad juga rajin membaca dan berlangganan
enam koran ditambah sebuah majalah mingguan Madura asli.
Wafatnya Kiai As’ad
“Saya ingin mati mempertahankan dan menegakkan
negara,” papar Kiai As’ad pada suatu hari di hadapan Pangdam V/Brawijaya,
Mayjen R. Hartono, Kapolda Jatim Mayjen Pol. Drs. Koes Poernomo Ikhsan, dan
Asisten Kejati. Ungkapan spontan ini mengejutkan anak-anaknya dan para santri,
karena sebelumnya Kiai As’ad tidak pernah menyinggung soal kematian. Pangdam
sendiri tampak haru.
Setahun sebelum wafat, Kiai As’ad menyerahakan
urusan pesantren kepada putranya, KH. Ahmad Fawaid As’ad. Lima tahun
sebelumnya, Kiai As’ad mencantumkan Kiai Ahmad Fawaid sebagai wakil ketua
pengasuh pondok. Begitu pula isyarat kepergian itu disampaikan kepada Kiai Ali
Yafie dan dr. Fahmi D. Zainuddin Zuhri, utusan PBNU, sebelas hari sebelum
wafatnya. “Ini mumpung sampean datang ke sini, kalau saya yang lebih dulu
dipanggil Tuhan, saya titip Ma’had Aly, tolong di-openi,” pesannya kepada kedua
orang itu. Bahkan terang-terangan setahun sebelum wafat, beliau pernah
berbicara kepada wartawan. Kata beliau, “Setahun belakangan, saya siap-siap,
karena sudah melihat malaikat maut.”
Ketika jatuh sakit, beliau masih memikirkan
pendidikan (merintis berdirinya Ma’had Aly) dan perkembangan NU (dengan
mengutus santri Ma’had Aly mengadakan bahtsul masail yang membahas tentang BPR
NU).
Pada Sabtu, 13 Muharram 1411 H atau 4 Agustus
1990, pukul 07.25 WIB, KH. R. As’ad Syamsul Arifin pulang ke rahmatullah dengan
memancarkan bau harum semerbak. Kiai yang sederhana itu pergi dengan
kesederhanaannya.
Wallahu a’lam.
(Disarikan dari beberapa sumber oleh Bahtiar HS
dan Muji Sampurno)
0 komentar:
Posting Komentar