Blogger news

Pages

Senin, 30 September 2013

Naik Haji ONH Plus Setelah Menolong Tetangga




Haji ke Baitullah adalah panggilan Allah pada hamba-Nya yang terpilih. Siapa saja, karenanya, bisa berangkat ke Makkah, meski secara hitungan matematika rasanya mustahil. 
Lebih dari seperempat abad, Pak Acep (57) menjalani profesi sebagai wirausaha, yaitu berjualan kebutuhan sehari-hari (toko kelontong). Toko kelontong kecil ukuran 2 x 2 m yang berada di teras rumah yang kebetulan di tepi jalan. Tak tampak keistimewaan dari bapak tiga putra ini. Setiap hari ia mengenakan pakaian ‘kebesaran’ kaos oblong putih dengan kantong besar di dada. Peci hitam dan kacamata plus menjadi atribut khasnya.

Namun siapa sangka, di balik ketidakistimewaannya, pria bersahaja ini adalah seorang haji. Hebatnya, perjuangan yang ia lalui untuk sampai ke Baitullah berbeda dengan kebanyakan jamaah haji pada umumnya.

Pak Acep menyisihkan selembar demi selembar uang hasil jerih payahnya untuk ditabung di celengan dari tanah liat berbentuk ka’bah. Sisanya untuk biaya hidup keluarganya. Bagi orang seukuran dia, hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan, mengingat keterbatasan ekonominya.
Beruntung karena Pak Acep mampu melewati godaan-godaan itu selama kurang lebih 15 tahun. Akhirnya bisa berangkat ke Tanah Suci pada tahun 1998. Sebuah nikmat yang luar biasa, ketika wong cilik seperti dia bisa menunaikan ibadah haji.
Keinginan berhaji berawal ketika Pak Acep sering mendengarkan ceramah dari para kyai saat di pengajian. Ia memang sangat rajin mengikuti acara pengajian, khususnya di pagi hari. Tak hanya di satu tempat, tetapi Pak Acep sering menyampatkan diri datang ke masjid-masjid untuk mendengarkan nasihat agama. Gemblengan-gemblengan nasihat itulah yang menumbuhkan niat dan tekad yang kuat dalam dirinya untuk bisa pergi haji.
Meskipun tidak diucapkan secara lisan, namun usahanya untuk mewujudkan niat tersebut tak main-main. Selain rutin mengumpulkan uang hasil kerjanya, Pak Acep juga rajin memohon pada Allah melalui salat tahajjud dan membaca doa mohon keluasanrizki. Bahkan setiap ia hendak menabung uangnya, ada doa khusus yang selalu dibaca. Tujuannya agar bisa menjaga ketetapan hatinya
Namun demikian, bukan berarti dirinya terlepas dari godaan. Ia mengakui ada saja hal-hal yang kadang membuat niatnya goyah. Misalkan, saat putranya minta dibelikan sepeda motor atau keinginan untuk membeli barang-barang baru. Hanya saja, ia tetap tak goyah dari niatnya semula. Prinsipnya, sebelum bisa naik haji, ia tidak akan membeli barang apapun dengan uang simpanannya itu.
Ketika dirasa uang sudah cukup,Pak Acep izin kepada istri dan anak-anaknya untuk segera mengambil kursi naik haji. Dan bersama-sama membuka celengan dan menghitungnya. Sebagai lelaki beristri tentu ada keinginan kuat untuk mengajak sang istri, namun apa daya biaya tak mencukupi.Tetapi beliau berjanji pada sang istri suatu saat akan pergi bersama.
Setelah dihitung dan uangnya cukup untuk ONH dan ada lebih untuk kebutuhan selama beliau tinggal, Pak Acep segera menyetor dan sekaligus mendaftar.
Ternyata godaan kembali datang.Ketika uang yang terkumpul esok harinya mau disetor, malam sebelumnya ada tetangganya,Pak Narto, yang mengetuk pintu dengan dengan menangis terisak-isak mencari pinjaman dana ke Pak Acep.Putranya sedang dirawat di rumah sakit dan harus segera menyediakan dana untuk operasi.
Hati Pak Acep kembali bergejolak antara keinginan berhaji yang sudah di depan mata dengan menolong Pak Narto yang sedang membutuhkan dan mengalami nasib yang sama dulu pernah dialami Pak Acep, yaitu putra pertamanya yang meninggal.
“Tolong Pak Acep, saya mau pinjam uang untuk anak saya.Besok harus operasi dan saya harus menyediakan uang itu.Jika tidak, maka operasinya tidak dilakukan,” rintih Pak Narto memohon pada Pak Acep.
Setelah terdiam sekejap, Pak Acep menjawab, “Ya insyaAllah.Tapi saya musyawarah dulu dengan istri.Jika ya, besok uangnya saya antar,” jawab Pak Acep.
Setelah musyawarah dengan istri dan perang gejolak hati akhirnya Pak Acep bersedia meminjamkan dana ONH-nya untuk operasi putra Pak Narto. Pagi-pagi buta ia berangkat ke rumah sakit tempat putra Pak Narto akan dioperasi. Ditemani Pak Acep, Pak Narto langsung menuju ruang dokter untuk pelunasan biaya operasi.
“Bapak dapat uang dari mana, kok, cepat mengumpulkan dan sebesar ini?” tanya dokter. “Saya pinjam kepada tetangga saya, Pak Acep ini,” jawab Pak Narto sambil menunjuk Pak Acep. Melihat dokter agak terkejut karena melihat penampilan Pak Acep yang biasa tidak menampakkan pemilik uang banyak, Pak Acep menyahut, “Ya pak dokter. Alhamdulillah dari uang tabungan saya.”
Operasi telah dilakukan dan putra Pak Narto kembali sehat.Sembari menunggu pengembalian dana dari Pak Narto yang dulu dijanjikan musim haji tahun berikutnya,Pak Acep seperti biasa melanjutkan menabungnya.
Suatu ketika menjelang musim haji, datanglah Pak Dokter yang dulu menangani operasi putra Pak Narto kerumah Pak Acep. “Selamat datang Pak Dokter dirumah kami.Ada perlu apa kiranya Pak Dokter hingga jauh-jauh kemari?” sambut Pak Acep.
“Ya,Pak Acep.Saya kemari memang ada perlu,Pak.Saya sedang ada masalah,” kata dokter.
“Masalah apa kiranya,Pak?Ada yang bisa saya bantu?” jawab Pak Acep.
“Ya, ini saya ada masalah.Saya harus keluar negeri untuk mengantar berobat istri saya.Saya kesini mohon didoakan Pak Acep dan ibu, agar istri saya cepat sembuh,” jawab dokter.“Ya,Pak.Semoga Allah segera memberi kesehatan pada istri Bapak,” jawab Pak Acep.
“Terima kasih,Pak,” jawab dokter itu. “Tetapi membaca doanya di Makkah dan Madinah, ya, pak?” lanjut dokter itu.
“Maksudnya,Pak Dokter?” tanya Pak Acep tidak tahu.
“Ya,Pak.Kami tahun ini sudah membayar ONH Plus, tetapi kami tidak bisa berangkat.Oleh karena itu, kami mohon kepada Pak Acep dan ibu untuk menggantikan kami dan kami titipdoa,” jawab dokter itu.
Subhanallah! Mendengar jawaban tersebut Pak Acep dan ibu terdiam dan seolah jantung berhenti berdetak. Mereka akhirnya bisa berangkat haji dengan jalan yang sama sekali tak pernah mereka bayangkan.

0 komentar:

Posting Komentar