Haji ke Baitullah adalah panggilan Allah pada
hamba-Nya yang terpilih. Siapa saja, karenanya, bisa berangkat ke Makkah, meski
secara hitungan matematika rasanya mustahil.
Lebih
dari seperempat abad, Pak Acep (57) menjalani
profesi sebagai wirausaha, yaitu berjualan kebutuhan sehari-hari (toko
kelontong). Toko kelontong kecil ukuran 2 x 2 m yang berada di teras rumah yang
kebetulan di tepi jalan. Tak tampak keistimewaan dari bapak tiga putra ini.
Setiap hari ia mengenakan pakaian ‘kebesaran’ kaos oblong putih dengan kantong
besar di dada. Peci hitam dan kacamata plus menjadi atribut khasnya.
Namun
siapa sangka, di balik ketidakistimewaannya, pria bersahaja ini adalah seorang
haji. Hebatnya, perjuangan yang ia lalui untuk sampai ke Baitullah berbeda
dengan kebanyakan jamaah haji pada umumnya.
Pak
Acep menyisihkan selembar demi selembar uang hasil jerih payahnya untuk
ditabung di celengan dari tanah liat berbentuk ka’bah. Sisanya untuk biaya
hidup keluarganya. Bagi orang seukuran dia, hal tersebut bukanlah sesuatu yang
mudah dilakukan, mengingat keterbatasan ekonominya.
Beruntung
karena Pak Acep mampu melewati godaan-godaan itu selama kurang lebih 15 tahun.
Akhirnya bisa berangkat ke Tanah Suci pada tahun 1998. Sebuah nikmat yang luar
biasa, ketika wong cilik seperti dia bisa menunaikan ibadah haji.
Keinginan
berhaji berawal ketika Pak Acep sering mendengarkan ceramah dari para kyai saat
di pengajian. Ia memang sangat rajin mengikuti acara pengajian, khususnya di
pagi hari. Tak hanya di satu tempat, tetapi Pak Acep sering menyampatkan diri
datang ke masjid-masjid untuk mendengarkan nasihat agama. Gemblengan-gemblengan
nasihat itulah yang menumbuhkan niat dan tekad yang kuat dalam dirinya untuk
bisa pergi haji.
Meskipun
tidak diucapkan secara lisan, namun usahanya untuk mewujudkan niat tersebut tak
main-main. Selain rutin mengumpulkan uang hasil kerjanya, Pak Acep juga rajin
memohon pada Allah melalui salat tahajjud dan membaca doa mohon keluasanrizki. Bahkan setiap ia hendak menabung uangnya, ada doa khusus yang
selalu dibaca. Tujuannya agar bisa menjaga ketetapan hatinya
Namun
demikian, bukan berarti dirinya terlepas dari godaan. Ia mengakui ada saja
hal-hal yang kadang membuat niatnya goyah. Misalkan, saat putranya minta dibelikan sepeda motor
atau keinginan untuk membeli barang-barang baru. Hanya saja, ia tetap tak goyah
dari niatnya semula. Prinsipnya, sebelum bisa naik haji, ia tidak akan membeli
barang apapun dengan uang simpanannya itu.
Ketika
dirasa uang sudah cukup,Pak Acep izin kepada istri dan anak-anaknya untuk
segera mengambil kursi naik haji. Dan bersama-sama membuka celengan dan
menghitungnya. Sebagai lelaki beristri tentu ada keinginan kuat untuk mengajak
sang istri, namun apa daya biaya tak mencukupi.Tetapi beliau berjanji pada sang
istri suatu saat akan pergi bersama.
Setelah
dihitung dan uangnya cukup untuk ONH dan ada lebih untuk kebutuhan selama
beliau tinggal, Pak Acep segera menyetor dan sekaligus mendaftar.
Ternyata
godaan kembali datang.Ketika uang yang terkumpul esok harinya mau disetor,
malam sebelumnya ada tetangganya,Pak Narto, yang mengetuk pintu dengan dengan
menangis terisak-isak mencari pinjaman dana ke Pak Acep.Putranya sedang dirawat
di rumah sakit dan harus segera menyediakan dana untuk operasi.
Hati
Pak Acep kembali bergejolak antara keinginan berhaji yang sudah di depan mata
dengan menolong Pak Narto yang sedang membutuhkan dan mengalami nasib yang sama
dulu pernah dialami Pak Acep, yaitu putra pertamanya yang meninggal.
“Tolong
Pak Acep, saya mau pinjam uang untuk anak saya.Besok harus operasi dan saya
harus menyediakan uang itu.Jika tidak, maka operasinya tidak dilakukan,” rintih
Pak Narto memohon pada Pak Acep.
Setelah
terdiam sekejap, Pak Acep menjawab, “Ya insyaAllah.Tapi saya musyawarah dulu
dengan istri.Jika ya, besok uangnya saya antar,” jawab Pak Acep.
Setelah
musyawarah dengan istri dan perang gejolak hati akhirnya Pak Acep bersedia
meminjamkan dana ONH-nya untuk operasi putra Pak Narto. Pagi-pagi buta ia
berangkat ke rumah sakit tempat putra Pak Narto akan dioperasi. Ditemani Pak
Acep, Pak Narto langsung menuju ruang dokter untuk pelunasan biaya operasi.
“Bapak
dapat uang dari mana, kok, cepat mengumpulkan dan sebesar ini?” tanya dokter.
“Saya pinjam kepada tetangga saya, Pak Acep ini,” jawab Pak Narto sambil
menunjuk Pak Acep. Melihat dokter agak terkejut karena melihat penampilan Pak
Acep yang biasa tidak menampakkan pemilik uang banyak, Pak Acep menyahut, “Ya
pak dokter. Alhamdulillah dari uang tabungan saya.”
Operasi
telah dilakukan dan putra Pak Narto kembali sehat.Sembari menunggu pengembalian
dana dari Pak Narto yang dulu dijanjikan musim haji tahun berikutnya,Pak Acep seperti
biasa melanjutkan menabungnya.
Suatu
ketika menjelang musim haji, datanglah Pak Dokter yang dulu menangani operasi
putra Pak Narto kerumah Pak Acep. “Selamat datang Pak Dokter dirumah kami.Ada
perlu apa kiranya Pak Dokter hingga jauh-jauh kemari?” sambut Pak Acep.
“Ya,Pak
Acep.Saya kemari memang ada perlu,Pak.Saya sedang ada masalah,” kata dokter.
“Masalah
apa kiranya,Pak?Ada yang bisa saya bantu?” jawab Pak Acep.
“Ya,
ini saya ada masalah.Saya harus keluar negeri untuk mengantar berobat istri saya.Saya
kesini mohon didoakan Pak Acep dan ibu, agar istri saya cepat sembuh,” jawab
dokter.“Ya,Pak.Semoga Allah segera memberi kesehatan pada istri Bapak,” jawab Pak
Acep.
“Terima
kasih,Pak,” jawab dokter itu. “Tetapi membaca doanya di Makkah dan Madinah, ya,
pak?” lanjut dokter itu.
“Maksudnya,Pak
Dokter?” tanya Pak Acep tidak tahu.
“Ya,Pak.Kami
tahun ini sudah membayar ONH Plus, tetapi kami tidak bisa berangkat.Oleh karena
itu, kami mohon kepada Pak Acep dan ibu untuk menggantikan kami dan kami titipdoa,”
jawab dokter itu.
Subhanallah!
Mendengar jawaban tersebut Pak Acep dan ibu terdiam dan seolah jantung berhenti
berdetak. Mereka akhirnya bisa berangkat haji dengan jalan yang sama sekali tak
pernah mereka bayangkan.
0 komentar:
Posting Komentar