Blogger news

Pages

Sabtu, 12 Oktober 2013

Biografi : As-Sayyid Alawi al-Maliki: "Sang Perhiasan Masjidil Haram"



“Kesenanganku adalah dalam menyampaikan pelajaran. Andaikan saja malaikat maut hendak mencabut ruhku, niscaya aku mengatakan: ‘Tunggu sampai aku menyampaikan pelajaran pada malam ini!’”
~ As-Sayyid Alawi al-Maliki

Berkah Do’a Habib Ahmad bin Hasan
Ada sebuah kisah yang sangat dikenal dan banyak disebut dalam majlis-majlis orang khusus penduduk Makkah dan Hadhramaut. Dikisahkan oleh Syekh Umar Bah Juned kepada Habib Ali bin Husen al-Atthas:
Saya berteman dekat dengan Sayyid Abbas al-Maliki. Pada tahun 1325 H pada musim haji kami berdua berkesempatan bertemu dengan Habib Ahmad bin Hasan dari Yaman. Kepada Habib Ahmad saya mengatakan: “Wahai Habib Ahmad, ini adalah karib saya Sayyid Abbas al-Maliki, seorang alim mulia. Ia mempunyai hajat memohon do’a darimu semoga Allah mengkaruniakan seorang putera yang alim!” Seketika itu pula Habib Ahmad berkata dengan suara keras sehingga mengagetkan banyak orang di sekitarnya: “Allah akan memberinya seorang putera bernama Alawi. Thariqahnya alawiyyah hadhramiyyah“ dan selanjutnya Habib Ahmad membacakan al-fatihah dengan niat ini seraya ber-wasilah keagungan sebaik-baik makhluk (Rasulullah r).
Tiga tahun kemudian do’a dan statement Habib Ahmad yang dalam tradisi ulama sufi disebut dengan Kassyaf tersebut menjadi kenyataan.
Pada tahun 1328 H/1910 M dalam lingkungan keluarga al-Maliki yang bermukim di area dekat dengan Babussalam, sebuah keluarga yang sangat dikenal oleh penduduk Makkah al-Mukarramah sebagai keluarga ilmu, terlahir seorang bayi lelaki yang lalu diberi nama Alawi. Dengan nama lengkap As-Sayyid Alawi bin As-Sayyid Abbas bin As-Sayyid Abdul Aziz bin As-Sayyid Abbas bin As-Sayyid Abdul Aziz bin As-Sayyid Muhammad al-Maliki al-Makky al-Hasani al-Idrisi. Nasabnya sampai kepada As-Sayyid Idris al-Azhar bin Idris al-Akbar bin Abdillah al-Kamil bin al-Hasan al-Mutsanna bin Sayyidina al-Hasan As-Sibth bin Sayyidina Ali dan Sayyidatuna Fathimah Az- Zahra’ binti Rasulullah r.
Masa Belajar As-Sayyid Alawi
Memasuki usia belajar, usia tujuh tahun, dan sebagaimana lazimnya tradisi penduduk Makkah, Sayyid Alawi kecil oleh sang ayah dimasukkan dalam kelas Al-Qur’an yang menempati rumah Sayyidah Khadijah al-Kubra yang terletak di gang al-hajar, yang kebetulan secara langsung diasuh oleh pamannya sendiri As-Sayyid Hasan al-Maliki. Dalam perjalanan waktu, rumah itupun menjadi Madrasah al-Huffazh (akan tetapi sekarang telah masuk dalam area pelebaran Masjidil Haram). Akhirnya, Sayyid Alawi berhasil menghapal seluruh Al-Qur’an dan sekaligus ditunjuk menjadi imam shalat tarawih di Masjidil Haram dalam usianya yang baru menginjak sepuluh tahun.
Selanjutnya Sayyid Alawi bersekolah di Madrasah al-Falah yang kala itu diasuh oleh para pengajar yang merupakan tokoh-tokoh ulama Masjidil Haram; di antaranya Syekh Abdullah Hamduh, Syekh Muhammad al-Araby at-Tabbani, Syekh Thayyib al-Marakisyi, Syekh Umar Hamdan, Syekh Isa Rawwas, dll. Para guru besar itu mayoritas memiliki perhatian lebih kepada Sayyid Alawi. Setelah kurang lebih 8 tahun belajar di Madrasah al-Falah, tepatnya pada tahun 1346 H, Sayyid Alawi muda berhasil menyelesaikan kelas tertinggi di sekolah ini. Sayyid Muhammad bin Husen al-Atthas mengatakan: “Dan beliau lulus dari Madrasah al-Falah dalam kondisi telah manguasai ilmu-ilmu Islam secara mendalam”.
As-Sayyid Alawi: Perhiasan Masjidil Haram
Pada tahun berikutnya (1347 H) dalam usia 19 tahun, Sayyid Alawi diangkat sebagai pengajar di Madrasah al-Falah sekaligus disahkan sebagai salah seorang pengajar dan pengasuh salah satu majlis (halaqah) ilmu di Masjidil Haram seperti yang diharapkan oleh ayahandanya Sayyid Abbas al-Maliki. Seluruh waktu dan usia emasnya selanjutnya secara total diberikan oleh Sayyid Alawi untuk mengajar di Masjidil Haram. Pada mulanya, kajian-kajian yang disampaikan adalah seputar tata bahasa Arab yang kemudian semua disiplin ilmu beliau ajarkan. Ya, karena memang beliau sangat mendalam dalam semua bidang ilmu Islam; tafsir, hadits, sirah nabawiyyah, fiqih, nahwu sharaf, dll. Waktu-waktu yang banyak sekali dijalani oleh Sayyid Alawi di Masjidil Haram untuk mengajar serta tentunya juga di Madrasah al-Falah almamaternya dan kajian-kajian yang dilaksanakan di rumahnya sendiri yang bersebelahan dengan Masjidil Haram ini adalah kenyataan berita yang disampaikan seorang syekh bernama Muhammad Said al-Yamani kepada Sayyid Abbas: “Putera Anda, Alawi kelak akan menjadi perhiasan Masjidil Haram.”
Sebagai seorang pengajar, Sayyid Alawi memiliki semangat yang sangat luar biasa. Mengajar bagi beliau bukan sekedar ibadah dan pengabdian, akan tetapi juga bisa menjadi hobi dan rekreasi. Tidak jarang beliau berangkat mengajar dalam kondisi tubuh sedang demam, kepala sedang pusing, atau saat sedang menderita radang tenggorokan sehingga tidak bisa bersuara. Meski begitu pun beliau masih tetap menyempatkan hadir di majlisnya. Terkadang seseorang menyarankan: “Apakah tidak sebaiknya engkau beristirahat di rumah?” Maka beliau menjawab: “Jika aku tidak bisa mengajar, maka aku berharap mendapatkan kesembuhan dengan menghadiri majlis dan mendapatkan berkahnya.” Dalam kondisi seperti ini, beliau duduk sebentar, lalu menutup majlis dengan do’a. Sebagaimana shalat bagi Rasulullah  r adalah penyejuk jiwa, sehingga dalam kondisi sakit pun beliau tetap menghadiri shalat jamaah meski dengan dipapah. Mengajar, bagi Sayyid Alawi, juga demikian halnya. Ketika sakit dan disarankan oleh dokter agar beristirahat di rumah, beliau justru menegaskan bahwa: “Kesenanganku adalah dalam menyampaikan pelajaran. Andaikan saja malaikat maut hendak mencabut ruhku, niscaya aku mengatakan: ‘Tunggu sampai aku menyampaikan pelajaran pada malam ini!’”
Bukan hanya sekedar sangat aktif dan istiqamah dalam mengajar, Sayyid Alawi al-Maliki juga sangat memperhatikan keaktifan para santri dalam mengikuti pelajaran. Jika suatu saat ada santri yang ketinggalan dan kemudian duduk di balik tiang masjid agar tidak kelihatan, maka segera Sayyid Alawi memberikan teguran dengan mensitir firman Allah: “...mereka bisa bersembunyi dari manusia (tetapi) mereka tidak bisa bersembunyi dari Allah“ (Q.S. An-Nisa’: 108) dan hadits Rasulullah  r: “Suatu kaum senantiasa ketinggalan (hadir belakangan) sehingga Allah pun mengakhirkan mereka.” Bahasa-bahasa semacam ini cukup memberikan pengaruh dalam jiwa para santri sehingga mereka bersegera hadir di majlis sebelum kedatangan guru mereka As-Sayyid Alawi al-Maliki.
Perhatian As-Sayyid Alawi pada Santri
Perhatian yang sangat serius kepada para santri juga membuat Sayyid Alawi marah kepada santri yang begitu saja absen tidak mengikuti pelajaran karena sesuatu yang menurut beliau bukan udzur.
Pernah ada seorang santri yang secara rutin mengaji kepada beliau. Suatu ketika serombongan ulama Alawiyyin dari Yaman datang di Makkah. Akhirnya santri tersebut ikut serta hadir dalam majlis-majlis para ulama Yaman tersebut di berbagai tempat sehingga membuatnya absen dari pengajian Sayyid Alawi. Tibalah saat para ulama Yaman ini menghadiri majlis Sayyid Alawi. Mereka pun duduk di barisan belakang. Melihat kedatangan mereka, As-Sayyid Alawi mengangkat tangan tanda penghormatan selamat datang. Para ulama itupun membalas penghormatan beliau dengan mengangkat tangan mereka. Santri itupun bersama ikut mengangkat tangan karena merasa penghormatan itu juga diperuntukkan baginya. Akan tetapi As-Sayyid Alawi langsung menodong: “Penghormatan bukan untukmu. Itu untuk orang-orang mulia. Sedangkan dirimu, andai bukan karena kelompokmu niscaya aku akan melemparimu dengan batu!” Dan usai pelajaran selesai, santri tersebut dipanggil, ditegur, dan ditanya oleh As-Sayyid Alawi alasan ketidakhadirannya dalam pelajaran beberapa hari ini. As-Sayyid Alawi kemudian menjelaskan bahwa tidak semestinya ia absen dari pelajaran hanya karena majlis-majlis seperti ini.
Perhatian dan kasih sayang As-Sayyid Alawi yang begitu kuat kepada para santri juga mendorong beliau seringkali menyampaikan ungkapan kepada para santrinya: “Sesungguhnya tarbiyah-ku kepada kalian dengan memperhatikan kalian adalah seperti kura-kura yang tidak pernah tidur untuk mengawasi telurnya. Ia terus mengawasinya sampai menetas.”
Mengutamakan Mencetak Kader
Betapapun memiliki banyak karya tulis seperti Ibanatul Ahkam syarah Bulughul Maram dan Faidhul Khabir  fi Ushulit Tafsir, akan tetapi untuk ukuran seorang alim sekaliber beliau karya tulis yang ditelorkan relatif tidak banyak.
Totalitas dalam mendidik para santri seperti tersebutlah yang menjadi salah satu alasan, sehingga ketika ada seorang bertanya mengapa beliau tidak membuat banyak karya tulis, maka As-Sayyid Alawi menjawab: “Aku banyak menyusun para tokoh.” Ini artinya, beliau lebih cenderung memperbanyak mencetak para kader ulama.
Memang pada akhirnya dari keuletan dan keseriusan beliau mendidik para santri, akhirnya terlahir banyak sekali, ratusan bahkan ribuan para ulama besar yang kemudian mendirikan pesantren setelah pulang ke kampung halaman di negaranya masing-masing. Dari mereka juga para ulama yang memiliki banyak sekali karya tulis. Di antara murid beliau, kita mengenal Habib Salim As-Syathiri Yaman atau K.H. Maimun Zuber Sarang Jawa Tengah.
Keshalehan Sosial As-Sayyid Alawi
Konsentrasi penuh dalam dunia taklim dan tarbiyah ternyata tidak lantas membuat As-Sayyid Alawi terhalang dari menjalankan aktivitas keshalehan sosial. Beliau juga dikenal sebagai seorang yang gemar mendamaikan dua pihak yang berseteru. Banyak perseteruan terjadi di kalangan penduduk Makkah, Jeddah, dan Tha’if yang kemudian bisa damai karena mediasi yang dilakukan oleh As-Sayyid Alawi. Ini semua menunjukkan bahwa beliau adalah orang yang sangat berwibawa dan disegani.
Atas anugerah Allah, As-Sayyid Alawi juga seorang yang banyak mengabdi kepada umat semasa hidupnya. Di antara pengabdian itu adalah menikahkan. Banyak sekali pasangan pengantin yang dinikahkan oleh beliau. Bahkan untuk pengabdian ini, pernah suatu ketika beliau rela melakukan perjalanan dengan unta semalam suntuk. Perjalanan yang sangat melelahkan, tentu. Akan tetapi itu semua beliau jalani dengan kesabaran tinggi dan ketulusan hati, semata demi menyenangkan orang lain dan tidak ingin orang lain kecewa. Jabrul Khathir.
Kewafatan As-Sayyid Alawi
Setelah kurang lebih 44tahun (dari mulai tahun 1347 H hingga 1391 H) mengabdi kepada umat dengan ilmu dan waktunya, As-Sayyid Alawi wafat pada tanggal 25 Shafar tahun 1391 H dan dimakamkan di pemakaman al-Ma’la, dengan posisi tidak jauh dari makam Sang Ibunda Ummul Mukminin As-Sayyidah Khadijah al-Kubra. Hanya berselang satu minggu dari kewafatan beliau, tepatnya pada tanggal 3 Rabi’ul Awwal tahun 1391 H posisi beliau dalam majlis pengajaran di Masjidil Haram secara resmi digantikan oleh putera beliau, Abuya As-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki, atas kesepakatan para guru besar Masjidil Haram waktu itu.
Masih terlalu banyak yang bisa ditulis dari seorang tokoh besar seperti As-Sayyid Alawi al-Maliki. Kiranya sedikit tulisan di atas bisa sedikit memberikan gambaran kebesaran beliau khususnya dan keluarga al-Maliki pada umumnya di kalangan penduduk Makkah dan masyarakat Saudi Arabia, sehingga keluarga ini betapapun secara ideologi beragama berbeda dengan arus besar di sana, akan tetapi tetap memiliki posisi yang sangat kuat. Semoga Allah I senantiasa melindungi dan menambah kekuatan tersebut, sehingga bendera ahlu sunnah wal jamaah tetap berkibar di bumi Makkah al-Mukarramah, tanah suci umat Islam yang terjajah.
Wallahu a’lam.
[Dirangkum oleh Ust. Masyhuda al-Mawwaz dari kitab Shafahat Musyriqah min Hayatil Imam As-Sayyid As-Syarif Alawi bin Abbas al-Maliki al-Hasani (1328 H – 1391 H) karya As-Sayyid Abbas bin Alawi al-Maliki, cet. Pertama, tahun 1424 H/2003 M.]

0 komentar:

Posting Komentar