Ini kajian terakhir tentang bid'ah
dari dua tulisan sebelumnya,selamat membacanya.
Pendapat Beberapa Ulama dalam
membagi bid’ah
1. Imam Nawawi dalam kitabnya Tahdzib
al asma’ wa al lughot, jilid 3, hal 22, mengatakan :
“Bid’ah terbagi menjadi dua hal, yang hasanah
(baik) dan yang qobihah (buruk)”
2. Al Hafizh ibn al ‘Arabi al Maliki
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar al ‘Arabi al Maliki,
seorang pakar hadis yang bergelar al Hafizh, mufassir dan pakar fiqh dalam
madzab Imam al Maliki. Dalam kitabnya ‘Aridhat al Ahwadzi Syarh Jami’ al
Tirmidzi jilid 10 halaman 417, mengatakan:“Umar berkata,
Ini sebaik-baik
bid’ah”. Bid’ah yang dicela hanyalah semua bid’ah yang bertentangan dengan as
sunnah. Dan perkara baru yang dicela adalah yang mengajak kepada kesesatan
“
3. Al Imam Muhammad bin Isma’il al Shon’ani
Dalam
kitabnya Subulus Salam, Syarh Bulugh al Maram jilid 2 halaman 48, mengatakan :
“ Bid’ah
menurut bahasa adalah sesuatu yang dilakukan tanpa melihat contoh sebelumnya.
Dan yang dimaksud dengan bid’ah disini adalah sesuatu yang dilakukan tanpa
didahului adanya syara’ dari Al Qur’an dan as sunnah. Dan sungguh ulama telah
membagi bid’ah menjadi lima bagian :
1. Bid’ah yang wajib, seperti
menjaga ilmu-ilmu agama dengan membukukannya dan menolak terhadap
kelompok-kelompok sesat dengan (tetap) menegakkan dalil-dalil.
2. Bid’ah mandubah, seperti
membangun madrasah
3. Bid’ah mubahah, seperti bebasnya
dalam macam-macam makanan dan kebanggan pada baju yang bagus
4. Bid’ah yang diharamkan
5. Bid’ah
yang dimakruhkan, dan keduanya sudah cukup jelas contoh-contohnya. Adapun
hadis,”Semua bid’ah itu sesat”, adalah kata-kata yang bersifat umum dimana
pemahamannya dibatasi.”
4. Ibn Hajar al ‘Asqolani
Beliau
adalah seorang pakar hadis yang bergelar al Hafizd. Diakui kepakaran hadisnya,
baik di Timur maupun Barat. Dalam kitabnya Fath al Bari jilid 4 halaman 253,
mengatakan tentang bid’ah sebagai berikut :
“Dalam
konteks bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dilakukan tanpa mengikuti contoh
sebelumnya. Dan dalam konteks syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan dari
sunnah, sehingga ia menjadi tercela. Hakekatnya, jika bid’ah itu masuk dalam
wilayah yang dianggap baik oleh syara’, maka itu bid’ah yang baik. Dan jika
bid’ah tersebut masuk dalam wilayah yang dianggap jelek oleh syara’, maka itu
bid’ah yang buruk dan kalau tidak masuk pada keduanya, maka itu masuk pada
wilayah (bagian) yang mubah (boleh). Dan bid’ ah itu dapat terbagi menjadi lima
hukum”.
5. Al Imam
al Syaukani
adalah
Muhammad bin Ali al Syaukani, ahli hadis dan ilmu fiqh. Beliau juga membagi bid’ah
dengan mengutip pernyataan Ibn Hajar dalam kitabnya Nail al Author jilid 3
halaman 25, tanpa memberinya komentar.(Silahkan pembaca meruju’ buku,Membongkar
Kebohongan Buku ‘Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik,yang di
susun Tim Bahtsul Masail PC NU Jember,untuk mendapatkan kajian tentang
pendapat-pendapat ulama yang lebih mendalam)
Pembagian Bid’ah adalah Suatu
Keniscayaan
Jika kita melihat kajian para ulama
salaf tentang mafhum bid’ah, maka akan sampai pada suatu kesimpulan, bahwa
pembagian bid’ah adalah suatu keniscayaan. Karena dengan hati orang-orang yang
suci dan logika orang-orang yang berakal akan memberi pemahaman yang
komprehensif, mendalam dan argumentatif pada hadis “kullu bid’atin dlolalah”.
A. Bid’ah dalam aspek bahasa
Pada
pengertian bahasa, bid’ah adalah suatu hal atau perbuatan yang baru yang tidak
ada contoh sebelumnya. (DR. Ibrahim Anis, Mu’jamaul Wasith, jilid1, hal. 43. Bandingkan
dengan Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam’ Qowa’id al Ahkam jilid 2 halaman 172 dan
Imam an Nawawy, Tahdzib al Asma’wa al lughot jilid 3 halaman 22)
Dalam
pengertian bid’ah ini terkadang ada yang hasanah dan ada pula yang bid’ah
tercela. Adapun yang dimaksud bid’ah yang hasanah adalah semua hal yang
baru yang tidak bertentangan dengan Al Qur’an, as sunnah dan ijma’. Dan dalam
konteks ini tidak perlu dibedakan apakah itu urusan dunia atau agama. Karena
pada hakekatnya semua yang terjadi didalam kehidupan dunia sudah pasti terkait
dengan syara’ atau agama. Bagaimana kita akan makan, minum atau berpakaian
sekalipun itu urusan dunia harus berstandarkan dengan syara’ atau agama.Dan
bahasa yang tepat adalah semua hal-hal yang baru, baik itu terkait langsung
dengan ibadah ghoiru mahdloh atau tidak langsung, selama berdasarkan Al
Qur’an dan as sunnah atau ijma’, maka masuk kategori bid’ah yang hasanah atau
tidak tercela (Bandingkan dengan kajian Imam as Syafi’i pada Al Baihaqi.
Manaqib al Syafi’I, jilid I halaman 469)
1. Contoh-contoh
bid’ah yang tidak langsung terkait dengan ibadah
- Warna
pakaian
- Bentuk
pakaian bagi pria, apakah kemeja atau T-Shirt
- Semua hal
yang terkait dengan perkembangan tehnologi
- Pemeliharaan
ilmu dengan pembukuannya
- Dan
sebagainya
2. Contoh-contoh
bid’ah hasanah yang terkait langsung dengan ibadah ghoiru mahdloh
a. Dzikir
jahr (mengeraskan dzikir, baik dengan suara atau alat pengeras suara). Ini
adalah bid’ah yang berdasarkan as sunnah. Ali r.a. bercerita,”Abu Bakar bila
membaca Al Qur’an dengan suara lirih, sedangkan Umar dengan suara yang keras,
dan ‘Ammar jika membaca Al Qur’an mencampur surah ini dengan surah yang
lainnya. Maka hal tersebut dilaporkan kepada Nabi SAW, maka beliau bertanya
kepada Abu Bakar,”Kenapa engkau melirihkannya?”, Abu Bakar menjawab,”Alloh
dapat mendengar suaraku walaupun lirih”, dan Nabi bertanya kepada Umar,”Kenapa
engkau mengeraskan suaramu?”, Umar berkata,”Aku ingin mengagetkan setan dan
mengusir rasa kantuk.”,Nabi bertanya kepada ‘Ammar,”Kenapa engkau mencampur
surat ini dan surat itu?”, ‘Ammar menjawab,”Apakah engkau mendengarkan aku
mencampur dengan yang bukan al Qur’an ?”, beliau menjawab,”Tidak”, lalu beliau
bersabda,”Semuanya baik” (HR. Imam Ahmad)
Hadis ini
menunjukkan bolehnya mengeraskan bacaan Al Qur’an atau dzikrulloh dengan niat
syi’ar dan memungkinkan orang-orang lain dapat terjaga untuk bersegera
melaksanakan ibadah.
b. Dzikir
bareng-bareng (jama’i)
Dzikir
jama’i memiliki manfaat yang besar bagi pelakunya terutama pada masyarakat yang
awam. Bagi mereka dengan bareng-bareng melakukan ibadah dzikir akan mempicu
semangatnya dalam berdzikir. Dan dzikir jama’i ini hanya uslub (teknis)
saja untuk berdzikir atau mendekatkan diri kepada Alloh SWT. Jika ada seseorang
yang tidak berkenan dengan bareng-bareng dalam ibadah-ibadah yang sunnah, tidak
mengapa ia melakukannya secara sendirian.
Adapun
aktifitas dzikir jama’i termasuk aktifitas bid’ah yang tidak tercela karena
masih berlandaskan dengan as sunnah antara lain :
“Tidaklah
berkumpul suatu kaum disebuah rumah dari rumah-rumah Alloh yang mereka lagi
membaca kitab Alloh dan saling mengkajinya diantara mereka kecuali Alloh
menurunkan kepada mereka ketenangan dan rahmat, dan malaikat memagarinya serta
Alloh menyebut nama-nama mereka dihadapan malaikatNya” (HR. Abu Dawud)
Kalimat “Tidaklah
berkumpul suatu kaum” menunjukkan sebagai dalil dibolehkannya dzikir
jama’i.Karena penyebutan kata “kaum” dalam hadis tersebut menunjukkan
kepada banyaknya orang yang melakukan dzikir.
Demikian
juga dengan hadis yang diriwayatkan dari Abu Sa’id Al Khudri r.a., dia berkata
: Mu’awiyah r.a. melewati suatu halqah di masjid, lalu dia
bertanya,”Majelis apa ini?”Mereka menjawab,”Kami duduk untuk berzikir kepada
Alloh Azza wa Jalla”Muawiyah bertanya lagi,”Demi Alloh , benarkah kalian
duduk hanya untuk itu?”Mereka menjawab,”Demi Alloh, kami duduk hanya untuk
itu.”Kata Muawiyah selanjutnya,”Sungguh,aku tidak menyuruh kalian bersumpah
karena mencurigai kalian, karena tidak ada orang yang menerima hadis dari
Rasulullah saw.lebih sedikit daripada aku.”Sesungguhnya Rasulullah pernah
melewati halqah para sahabatnya lalu Rasulullah saw. Bertanya,”Majelis
apa ini?”Mereka menjawab,”Kami duduk untuk berzikir kepada Alloh dan memuji-Nya
atas hidayah-Nya berupa Islam dan atas anugerah-Nya kepada kami.”Rasulullah
saw.bertanya lagi,”Apakah Demi Alloh kalian duduk hanya untuk itu?”Mereka
menjawab,”Demi Alloh kami duduk hanya untuk itu.”kata Rasulullah saw.
Selanjutnya,”Sungguh, aku menyuruh kalian bersumpah bukan karena mencurigai
kalian tetapi karena aku didatangi oleh Jibril a.s. kemudian dia memberiatahuku
bahwa Alloh Azza wa Jalla membanggakan kalian didepan para
malaikat.”(diriwayatkan oleh Muslim,hadis no 1889)
Perhatikan
kalimat Halqoh dalam hadis tersebut,itu menunjukkan sekumpulan banyak
orang.Dan hadis ini juga bisa menjadi dalil bolehnya dzikir jama’i.
c.Mabit di
Mina Jadid(Mina baru)
Sekalipun
tidak pernah dilakukan oleh Nabi (karena beliau mabit di Mina lama),
namun ini menjadi hal yang hasanah. Karena dengan kondisi melimpahnya jutaan
jamaah haji, tentu tidak akan menampung jika Mina tidak diperluas. Dan akan
mendatangkan madlorot (bahaya) jika mereka dipaksa mabit di Mina lama
sebagaimana di jaman Nabi SAW.
d. Do’a
dengan menggunakan bahasa ibu
Doa yang
menggunakan bahasa Jawa, Indonesia, Cina, Arab dengan berbagai susunan dan gaya
bahasanya adalah bid’ah yang dibolehkan bahkan jika itu membuat yang berdoa
lebih khusu’,tentu bid’ah hasanah.
Karena dijaman
Nabi SAW sendiri ada sahabat yang berdoa dengan menggunakan redaksi yang tidak
pernah diajarkan Nabi, namun beliau membolehkannya.
“Anas bin
Malik berkata,”Suatu saat Rasulullah SAW lewat disisi laki-laki A’rabi yang
sedang berdoa dalam sholatnya dan ia berdoa,”Ya Tuhan yang semua mata tidak
sanggup melihatNya, tidak dipengaruhi oleh keraguan, tidak bisa disifati oleh
siapapun, tidak bisa merubahNya waktu yang berjalan, tidak takut oleh
malapetaka, Dia, Alloh yang mengetahui timbangan gunung, takaran lautan, jumlah
tetesan air hujan, jumlah dedaunan dari pohon-pohonnya, jumlah segala apa yang
ada dalam gelapnya malam dan terangnya siang, tidak menghalangiNya dari langit
satu ke langit yang lainnnya, bumi satu ke bumi yang lain, dan lautan tidak dapat
menyembunyikan dasarnya, gunung tidak dapat menyembunyikan isinya,(Ya Alloh)
jadikanlah sebaik-baik umurku pada akhirnya, sebaik-baik aktifitasku pada
penghujungnya dan sebaik-baik hariku pada hari aku bertemu denganMu”. Setelah
selesai ia berdoa, Nabi SAW memanggilnya dan memberikan padanya emas dan beliau
bersabda,”Aku berikan kamu emas, karena bagusnya pujianmu kepada Alloh ‘Azza
wa Jalla (HR.Al Thabarani dalam al Mu’jam al Ausath dengan sanad jayyid)
e.
Istilah-istilah wajib, mandubah, makruh,mubah atau haram
yang di jaman nabi SAW tidak pernah ada.Namun di jaman setelahnya keberadaan
istilah-istilah tersebut dalam kajian ushul fiqih dan ilmu fiqh tentu sangat
hasanah dan bermanfa’at.
f. Dan
sebagainya
Pada
prinsipnya, bid’ah-bid’ah lughowiyyah (bahasa) baik yang terkait tidak
langsung atau terkait langsung dengan ibadah ghoiru mahdloh seperti
contoh-contoh diatas, kalau memang berdasarkan Al Qur’an dan as sunnah, atau
ijma’ dan qiyas,sudah tentu melalui metode ijtihad maka bid’ah lughowiyyah
tersebut,akan menjadi bid’ah hasanah (baik).
Hampir semua
persoalan yang masuk wilayah ijtihad adalah persoalan-persoalan yang baru dan
belum pernah ada di jaman Nabi SAW.Misalnya,tentang darah nifas yang tidak ada
nash yang membicarakan hal tersebut.Para ulama berbicara tentang darah nifas
dengan diqiyaskan/dianalogikan kepada darah haid.Demikian pula tentang zakat
profesi,zakat fithrah dengan uang,jumlah raka’at sholat teraweh (20
raka’at),qunut dalam sholat teraweh ditengah bulan Ramadhan,qunut dalam sholat
shubuh,pemberian titik dalam mushhaf al Quran,memperingati hari-hari besar
dalam islam,adzan kedua dalam sholat jum’at,miqot makani di Jeddah bagi
jama’ah dari Asia,sa’i dilantai kedua dan sebagainya.
Dan karena
masuk wilayah ijtihad maka bisa dipastikan akan memunculkan perbedaan dari
hasil ijtihad tersebut. Namun perbedaan itu, sah-sah saja dan bisa dimaklumi
karena berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW,
“Apabila
seorang hakim melakukan ijtihad, lalu ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua
pahala, Dan apabila ia melakukan ijtihad lalu keliru, maka ia memperoleh satu
pahala” (HR. Bukhori)
Jadi,menurut
Nabi SAW dalam wilayah ijtihad(selama memenuhi ketentuan dan persyaratan dalam
berijtihad) tidak ada yang mengarah kepada kesesatan.Oleh karenanya
janganlah menuduh orang lain sesat atau melakukan aktifitas bid’ah dlolalah,yang
ujungnya musyrik dan kafir hanya karena perbedaan pendapat dari hasil
ijtihadnya.Selama ijtihad tersebut dihasilkan oleh orang-orang yang
memenuhi syarat dalam berijtihad,maka hasil ijtihadnya tidak bisa digugurkan
oleh ijtihad lainnya.
Adapun bid’ah
dalam pengertian bahasa, namun tidak lahir dari proses ijtihad, sehingga
bertentangan dengan Al Qur’an dan as sunnah maka bid’ah seperti ini
adalah madzmumah (tercela). Seperti model-model pakaian yang memamerkan
ketiak dan paha atau aurat-aurat lainnya, yang sekarang lagi digandrungi
anak-anak muda. Dan banyak contoh-contoh lainnya.Atau bid’ah dalam urusan
ibadah mahdloh(murni),seperti jumlah roka’at dalam sholat wajib,maka melakukan
bid’ah tersebut dengan merubah jumlah raka’at tanpa ada ‘udzur syar’i adalah
kesesatan.
Ada
pertanyaan dari mereka(Wahhabiyyah), “Jika bid’ah dalam hal-hal yang berkaitan
dengan ibadah itu hasanah (baik), tentulah generasi-generasi sahabat akan lebih
cepat melakukannya.Tapi kenapa sahabat-sahabat tidak juga melakukannya?Apakah
generasi khalaf itu lebih baik daripada generasi-generasi sahabat?”.
Tentu
pertanyaan tersebut tidak perlu ada. Karena apakah kita berani berkata bahwa
Bilal yang telah melakukan ijtihad untuk sholat dua rakaat setelah wudlu dengan
waktu yang telah ditentukan, lebih baik daripada Nabi SAW?. Dimana Nabi SAW
tidak pernah melakukan sebelumnya. Kalau itu baik kenapa Nabi tidak
melakukannya terlebih dahulu ?.
Ada riwayat
dari Rifa’ah bin Rafi’ r.a., beliau berkata,”Suatu ketika kami sholat
bersama Nabi SAW, ketika beliau bangun dari ruku’nya, beliau
berkata,”Sami’allahu liman hamidah”, Seorang sahabat berkata dibelakangnya,
“Rabbana walakal hamdu hamdan katsiran thoyyiban mubarakan fih.”.Ketika selesai
sholat Nabi SAW bertanya,”Siapa yang berkata tadi?”, sahabat tadi
menjawab,”Saya”,beliau bersabda,”Aku telah melihat ada lebih 30 malaikat
berebut menulis pahalanya”(HR. Bukhori, An Nasa’i, Abu Dawud, Ahmad)
Al Hafizh
ibn Hajar mengomentari hadis tersebut dalam kitabnya Fath al Bari jilid 2
halaman 267, bahwa hadis itu bisa menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru
dalam sholat, apabila tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur dan bolehnya
mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain.
Apakah kita
berani berkata bahwa sahabat tersebut lebih baik dari Rasulullah SAW yang
bacaannya dalam I’tidal lebih panjang?padahal Rasulullah SAW tidak
melakukan sebelumnya.Dan kenapa Rasulullah tidak melakukannya terlebih dahulu,
jika itu baik?.
Dan kenapa
pula Abu Bakar tidak bersegera membukukan Al Qur’an dalam satu mushaf padahal
itu adalah hal yang baik?. Kenapa harus menunggu usulan dari Umar bin Khottob?
Apakah Umar bin Khottob lebih baik daripada Abu Bakar?.Tentu tidak !, karena
apa yang dilakukan oleh generasi-generasi terbaru (khalaf) terkait yang bid’ah
hasanah bukan berarti generasi-generasi sebelumnya (salaf) yang tidak melakukan
bid’ah hasanah tersebut karena menganggapnya sebagai suatu kesesatan. Bisa jadi
mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada udzur yang terjadi
pada saat itu, misalnya banyak peperangan sehingga sangat sibuk untuk itu, atau
karena ada amaliah lain yang lebih utama atau barangkali hal itu belum
diketahui oleh mereka (lihat perkataan Imam as Syafi’i yang senada dengan itu,
yang dinukil oleh Hafizh al Ghimari dalam Itqon as Shun’ah fi Tahqiqi ma’na al
bid’ah. Halaman 5).
Dan dalam
hal-hal tertentu,terkadang generasi selain sahabat jauh lebih baik dari
generasi sahabat.Hal tersebut disebabkan karena perkembangan masalah atau
problem kemasyarakatan semakin modern dan kompleks dan membutuhkan penyelesaian
melalui kecerdasan ber ijtihad.Lebih-lebih dengan tidak hadirnya Nabi SAW di
tengah-tengah mereka (generasi selain sahabat).Sehingga,jika mereka bisa
menyelesaikan persoalan-persoalan keimanan atau keagamaan tanpa Nabi SAW
ditengah-tengah mereka adalah sebuah hal yang luar biasa dibandingkan dengan
sahabat-sahabat Nabi SAW.Coba renungkan hadis dibawah ini; “Dari ‘Ubaidah bin
al Jarrah RA berkata : Ya Rosululloh,adakah seseorang yang lebih baik dari pada
kami?,kami berislam dihadapanmu dan berjihad bersama engkau.Rosululloh menjawab
: ‘(Ada yaitu) generasi setelah kalian yang beriman kepadaku sekalipun tidak
pernah melihatku”.Hadis riwayat dari Ahmad,Thobaroni dan di shahihkan oleh al
Hakim.(Lihat,Ahmad Syarifuddin,al Zad al Mustafad,hal 74).
B. Bid’ah dalam Pengertian Syar’i
Bid’ah inilah yang masuk kategori sesat.
Karena segala hal yang baru yang tidak berdasarkan kepada syara’, bahkan
berlawanan,maka ini termasuk bid’ah dlolalah dan setiap yang bid’ah
dlolalah pasti tercela dan tidak perlu dihidup-hidupkannya.
Seperti
adanya aliran-aliran sesat sejak jaman awal Islam berkembang seperti,
Khawarij,Murji’ah, dan sebagainya. Hingga orang-orang di jaman sekarang dengan
kelompoknya mengakui adanya nabi palsu dari mereka sendiri adalah suatu bid’ah
syar’iyah yang sesat, dan setiap yang sesat sudah pasti di neraka.
PENUTUP
Demikian, kajian tentang bagaimana
kita memahami bid’ah yang benar dan argumentatif serta rasional. Tidak
ada maksud apapun dari penulisan ini, kecuali berharap ridlo Alloh SWT dengan
membela para ulama yang sholeh, yang telah banyak memberikan kontribusi
pemikiran pada umat Islam ini. Membela dari caci maki kelompok-kelompok yang
begitu sempit memahami bid’ah dan dengan itu menjadikan senjata untuk
mengkufuri para ulama yang ikhlas tersebut.
Sungguh, pena merasa malu untuk
menulis caci maki yang mereka keluarkan, dan julukan-julukan jelek yang mereka
lontarakan terdengar begitu risih oleh telinga orang yang mendengarkan,
demikian tulis murobbi kami, DR. As Sayyid Muhammad Alawy al Maliky al
Hasany, dalam kitabnya al Ghuluw.
Disamping mengharap ridloNya, tidak
lupa kami juga berterima kasih pada Tim Bahtsul Masail PC NU Jember yang secara
tidak langsung telah banyak membantu penulisan ini dengan membuat mudah penulis
menukil pendapat para ulama salaf dari buku “Membongkar Kebohongan Buku ‘Mantan
Kyai NU menggugat sholawat dan dzikir syirik” yang disusun tim tersebut. Semoga
Alloh memberikan pahala yang layak bagi tim tersebut.Jazaakumulloh Ahsanal
jaza’. Amin.
Wallohu A’lam.
Ya Alloh jadikan kami termasuk al
Kayyis.
0 komentar:
Posting Komentar