Blogger news

Pages

Rabu, 09 Oktober 2013

Ber-Qurban ala Habil atau Qabil?



Ibadah Qurban adalah suatu rangkaian ibadah yang memerlukan penjagaan hati dan penataan hati yang teramat kuat, dikarenakan ia jauh berbeda dengan ibadah puasa. Jika ibadah puasa tak bisa kita tampakkan, sehingga hanya Allah subhanahu wata’ala dan kita yang yang tahu sebenarnya kualitas ibadah puasa kita, sedangkan ibadah Qurban nampak dan bisa diketahui banyak orang. Hal ini membuka peluang besar niat ikhlas kita terganggu oleh virus penyakit hati yang bisa mengotorinya.
Ibadah Qurban memiliki keterkaitan ganda, yaitu vertikal berhubungan langsung dengan Allah subhanahu wata’ala sebagai bentuk ketaqwaan pada-Nya. Keterkaitan horisontal dikarenakan ada unsur hubungan dengan manusia terkait penerima manfaat dari hewan qurban itu sendiri. Selain itu, ibadah Qurban memadukan unsur materi dan non materi. Materi dikarenakan kita harus mengeluarkan harta untuk hewan qurban atau merelakan hewan qurban kesukaan kita untuk diqurbankan. Sedangkan non materi adalah ujian hati ini terkait sebab apa kita berqurban. Oleh karena itu dibutuhkan perpaduan antara materi (hewan Qurban) yang kita keluarkan dengan niat dalam hati kita.
Ibadah qurban memiliki sejarah yang begitu panjang.
Allah subhanahu wata’ala telah memerintahkan ibadah qurban kepada umat manusia sejak zaman nabi Adam ‘alaihissalam.
Dikisahkan bahwa Nabi Adam ‘alaihissalam mempunyai anak yang masing-masing dilahirkan oleh istrinya kembar dua, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Yang pertama, Qabil dengan saudari kembarnya seorang perempuan. Yang kedua Habil dengan saudari kembarnya perempuan juga. Allah memerintah Adam agar mengawinkan Qabil dengan saudara perempuan kembar Habil yang bernama Lubuda.  Ia tidak bagus rupa. Juga mengawinkan Habil dengan saudara perempuan kembar Qabil yang bernama Iqlima yang cantik rupa. Pada saat itu, Adam dilarang Allah mengawinkan perempuan kepada saudara laki-laki kembarnya. Qabil menolak dan menantang ayahnya seraya berkata, Saya lebih berhak memperistri saudari kembarku, sedangkan Habil lebih berhak memperistri saudari kembarnya. Bukanlah hal yang bersilang ini tidak lain hanyalah pendapatmu belaka?!"
Adam kemudian memerintahkan kedua anak laki-lakinya melakukan qurban. Barang siapa yang qurbannya diterima akan dijodohkan dengan anak yang cantik (saudari kembar Qabil) itu. Habil adalah seorang peternak kambing dan ia berqurban dengan kambing yang berwarna putih, matanya bundar, dan bertanduk mulus. Ia berqurban dengan jiwa yang bersih. Sementara Qabil adalah tukang bercocok tanam. Ia berqurban dengan makanan yang jelek dan niat yang tidak baik. Qurban-qurban itu lalu diletakkan di sebuah gunung dengan tanda diterimanya qurban itu adalah jika datang api dari langit lalu membakarnya. Ternyata api menyambar kambing qurbannya Habil, sebagai tanda diterima qurbannya. Dikarenakan qurbannya tidak diterima, akhirnya timbullah rasa dengki pada diri Qobil terhadap adiknya. Dan kemudian terjadi pembunuhan itu.
Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam Al-Qur’an, “Dan ceritakanlah (Muhammad) kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam (Qabil dan Habil) dengan sebenarnya. Ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka (qurban) diterima dari salah satunya (Habil) dan tidak diterima dari yang lainnya (Qobil). Maka berkata yang tidak diterima qurbannya (Qobil), ‘Sungguh aku akan membunuhmu. Dan berkata yang diterima qurbannya, ‘Sesungguhnya Allah hanya menerima qurban dari orang-orang bertakwa. (Q.S. Al-Maidah: 27)
Sejarah ini bisa kita jadikan ibrah berkaitan dengan ibadah amal apapun yang akan kita lakukan, khususnya berqurban; bahwa niat menjadi menjadi tolak ukur pertamanya. Berqurban sama dengan ibadah lainnya, yakni sebagai bentuk upaya mendekatkan diri serta wujud ketaqwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala. Maka sebuah amal akan bernilai ibadah atau tidak tergantung pada niat dan caranya. Sebagaimana hadist Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Segala amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai niatnya. Maka barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya itu karena kesenangan dunia atau karena seorang wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya itu kepada apa yang ditujunya.(H.R. Bukhari)
Dalam melaksanakan ibadah qurban tentu kita menginginkan termasuk dari golongan yang qurbannya diterima dan berupaya menjauhi dari golongan yang qurbannya tertolak. Sering kita jumpai di masyarakat kita banyak orang, baik dari kalangan rakyat biasa hingga pejabat tiap tahun berqurban berlomba-lomba bersaing jumlah dari hewan yang diqurbankan dan adu gengsi besarnya hewan qurban. Tak jarang pula terlena dengan tipu daya setan yang menggoda dengan memalingkan kemurnian niat, bukan lagi didasari ketaqwaan kepada Allah subhanahu wata’ala melainkan hanya ingin pujian manusia. Jika itu yang terjadi, maka akan hanya jadi berita sesaat dan tak akan abadi bernilai pahala di hadapan Allah subhanahu wata’ala.
Mari kita berupaya setiap apa yang kita lakukan agar bernilai ibadah, dan berhati-hatilah, agar kita tak terjerumus pada amal yang sia-sia atau bahkan menimbulkan dosa.
Wallahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar