Suatu malam
rumah Habib Ali Kwitang diketuk seseorang yang bermaksud mengundang untuk acara
selamatan sekaligus Maulidan. Kali ini beliau sedang
kurang enak badan dan dalam keadaan akan tidur.
“Tolonglah, Habib, jamaah sudah berkumpul di tempat saya. Sementara
ustadz kampung saya yang sedianya memimpin acara itu berhalangan hadir.” Mendengar
penuturan yang memelas itu, beliau segera mengajak
sang pengundang untuk berangkat.
Letak rumah pengundang itu ternyata di
kawasan kumuh dekat rel kereta api. Habib Ali memimpin pembacaan Maulid dan
menyampaikan taushiyah. Betapa senangnya sang tuan rumah dan para tamu, acara sederhana
mereka ternyata dihadiri ulama ternama nan kharismatik dari Jakarta.
Kemudian tibalah acara penutup,
yakni makan bersama. Hidangan malam itu adalah nasi putih hangat dengan lauk
belut goreng. Habib Ali pun tertegun. Ia tak suka belut. Tapi ia tak ingin
mengecewakan tuan rumah, yang tentu sudah bersusah-payah menyiapkan makanan
itu. Maka Habib berkata, “Wah, menunya lezat sekali. Saya jadi teringat istri
dan anak-anak saya. Maaf, Pak. Bolehkah makanan ini dibungkus dan saya bawa
pulang agar saya bisa menikmatinya bersama keluarga?” Tuan rumah yang mengira
Habib Ali menyukai belut segera membungkusnya untuk dibawa pulang.
Esok harinya,