Di jaman sekarang ini, bid’ah menjadi sebuah
peristilahan yang digunakan sebagai senjata yang teramat tajam untuk menuduh
seseorang atau sekelompok orang berada dalam dlolalah,atau kesesatan yang
berujung tuduhannya pada kekufuran(takfiry). Dengan istilah tersebut,harga
kekufuran menjadi murah dan dijual dengan bebas.Setiap orang dengan mudah dicap
‘tukang bid’ah” yang sudah pasti sesat. Seolah sudah tidak ada lagi orang-orang
yang beriman didunia ini, karena mereka telah dituduh melakukan bid’ah dengan
pemaknaan yang sempit.
Jika
kondisi tersebut terus berlangsung, maka surga yang luasnya seluas langit dan
bumi,
…wa jannatin ‘ardluhassamawati wal alrd (Al Imron 31), tentu akan
mengalami kekosongan. Itu pulalah mengapa Nabi Muhammad SAW,melarang umatnya
untuk cepat-cepat menuduh orang-orang yang telah beriman dengan kekufuran.
Diriwayatkan dari Anas r.a. bahwa nabi Muhammad SAW bersabda :
“Tiga
prinsip keimanan : mencegah dari pengkafiran terhadap seseorang yang telah
berkata La ilaha ilallah (tiada ilah selain Alloh) hanya karena perbuatan
dosanya dan juga kita tidak mengeluarkannya dari Islam hanya karena amal
maksiat yang dilakukannya.Dan jihad tetap ada sejak Alloh mengutusku hingga
umatku yang terakhir,memerangi Dajjal yang tidak mampu dikalahkan oleh
kedzaliman orang yang dzalim atau keadilan orang yang adil (kecuali dengan
kekuatan Alloh).Dan iman terhadap takdir (ilmu Alloh SWT) “(HR.Abu
Dawan,Muhammad Alawy al Maliki al Hasani,Mafahim Yajibantushohhah,hal 6)
Mudah
menuduh kepada orang-orang yang beriman sebagai pelaku bid’ah yang dlolalah
tentu tidak sesuai dengan prinsip keimanan yang diajarkan Nabi SAW. Dan
sebaliknya,orang-orang yang gemar mengobral tuduhan bid’ah dlolalah kepada
sesama orang Islam tanpa memperhatikan argumentasi yang dibangun oleh
orang-orang Islam yang tertuduh atas perilakunya, itu adalah kefasikan yang
tidak pernah diajarkan Nabi Muhammad saw.
Mafhum
bid’ah menurut kelompok Wahhabiyyah yaitu sebuah kelompok yang yang
pemikirannya selalu dinisbatkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab,mereka (salah
satunya,H Mahrus Ali ) berpendapat bahwa bid’ah adalah : “… segala ajaran yang
tidak diajarkan dimasa Nabi SAW dan sahabatnya tidak boleh diajarkan
setelahnya…” (Mantan Kiai NU,Menggugat sholawat dan dzikir,syirik,hal 127)
Demikian
juga Sholeh al Utsaimin (tokoh Wahhabiyyah juga) memiliki pendapat yang lebih
ekstrim tentang bid’ah :
“Ucapan
Rasulullah,kullu bid’atin dlolaalah,’semua bid’ah adalah sesat’, adalah
bersifat umum, menyeluruh dan dipagari dengan kalimat menyeluruh dan umum yang
paling kuat yaitu “kull” (seluruh).Apakah setelah adanya kalimat
“menyeluruh”/”kull” ini masih dibenarkan kita membagi bid’ah mejadi 3 atau 5
?.Selamanya, ini tidak benar” (Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin,al ibda’ fi
kamal al syar’i wa khatar al ibtida’,hal 13,ini hasil kajian Tim Bahtsul Masail
PC NU Jember dalam buku mereka ‘Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU
Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik”.)
Pernyataan
Utsaimin diperkuat dengan pernyataan Hammud bin Abdullah al Mathor (juga dari
Wahhabiyyah) :”Barangsiapa membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah
saiyah (yang buruk) maka dia telah melakukan kekeliruan dan menyalahi sabda
Nabi Muhammad SAW tersebut (Hammud bin Abdullah al Mathor,Al bida’ wa al
muhdatsatu wa ma la ahslalahu,terj. Ensiklopedia bid’ah,hal 97)
Demikian
pemahaman mereka ketika menafsirkan hadis Nabi SAW; “Kullu Bid’atin Dlolalah
“,(Setiap hal yang baru adalah sesat).
Namun,memahami
hadis tersebut dengan tafsiran bahwa bid’ah tidak bisa dibagi-bagi adalah
sebuah pemahaman yang sempit dan tidak berdasarkan pada kajian ilmiah yang
rasional. Bahkan mereka yang berpendapat seperti itupun akhirnya melanggar dan
tidak konsisten dengan pendapatnya. Hammud bin Abdullah al Mathor
misalnya,akhirnya juga telah membagi bid’ah atau ibtida’ (membuat suatu yang
baru) menjadi dua. Pertama , Bid’ah dalam urusan dunia dan kedua ,bid’ah dalam
urusan agama (ibid,hal 24).
Demikian
juga al ‘Utsaimin,tidak konsisten dengan pendapatnya sendiri. Dalam kitabnya
yang lain,Syarh al ‘aqidah al wasithiyyah,hal 639-640,menyatakan :
“Hukum
asal perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia adalah halal,kecuali ada dalil
yang mengharamkannya.Tetapi,hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan agama
adalah terlarang lagi bid’ah kecuali ada dalil dari Al Qur’an dan as sunnah
yang menunjukkan keberlakuannya”
Lihatlah
pada kalimat beliau tersebut,Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan
agama adalah terlarang lagi bid’ah kecuali ada dalil dari al quran dan
sunnah…,sangat sarat dengan ketidak konsistenan dengan pendapat sebelumnya.
Kecuali kalau dia mengenal istilah- yang dipakai Imam As Syafi’i- qaul qodim
dan qoul jadid - pernyataan lama dan pernyataan baru.Tapi jika ada qoul jadid,
Imam as Syafi’i dengan jujur menganulir qoul qodimnya.
Yang
bisa kita simpulkan dari pendapatnya: pertama, bahwa bid’ah itu ada dua macam,
bid’ah dalam urusan dunia dan bid’ah dalam urusan-urusan agama.Yang kedua,baik
dalam urusan-urusan dunia maupun dalam urusan agama, ada bid’ah yang bisa
diterima selama berlandaskan pada dalil-dalil Al Qur’an dan as sunnah.
Tanggapan
Ulama’ Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
Mafhum
bid’ah dalam pandangan ahlus sunnah wal jama’ah, sangat argumentatif,realistis
dan rasional.Oleh karena itu mereka menafsirkan hadis “semua bid’ah itu sesat”
adalah kata-kata umum yang harus dibatasi, ‘am makhshush, maksudnya adalah
semua bid’ah yang tercela yang sudah pasti bertentangan dengan syari’at, itulah
yang sesat (DR. As Sayyid Muhammad, mafahim yajibu antushohhah,hal 33).
Karena
memang dalam menafsirkan hadist tersebut tidak hanya melihat dhohir (teksnya)
saja,namun seharusnya dikaitkan dengan qorinah-qorinah lain untuk bisa memahami
konteks hadis tersebut.Oleh karenanya Imam Nawawi dalam syarah Shahih
Muslim,jilid 6/154) menafsirkan hadis tersebut sebagai berikut:
“Sabda
Nabi SAW , “Semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi
maksudnya. Dan yang dimaksud oleh hadis itu adalah gholibnya atau
biasanya/terkadang bid’ah itu adalah sesat”
Hadis
tersebut senada dengan hadis ; “Kullu ma’rufin shodaqoh” semua kebaikan adalah
shodaqoh (Riwayat dari al Bukhori). Pertanyannya apakah semua kebajikan yang
diberikan kepada seseorang bisa dianggap shodaqoh yang berpahala ?. Apakah jika
ada manusia yang membantu pembangunan sebuah gereja dianggap shodaqoh?, apakah
jika seseorang memberikan seekor ayam untuk sesajen pada pohon bisa disebut
shodaqoh yang berpahala?,apakah jika ada beberapa orang yang saling membantu
untuk mensukseskan kemaksiatan juga disebut shodaqoh?. Tentu jawabannya, tidak
kan? Dan dengan jawaban tersebut berarti telah membatasi hadis “semua kebaikan
adalah shodaqoh.Karena tidak semua kalimat “kull” mengharuskan bersifat umum
atau menyeluruh.Sebaliknya terkadang bersifat umum yang dibatasi dengan
qorinah-qorinah (indikator) dari hadis lainnya.
Demikian
juga dengan Firman Alloh swt,surat al Ahqof ayat 25 mengenai angin topan yang
menimpa kaum ‘Ad:
“(Angin
topan itu) menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya”
Kalimat
Alloh swt “Kulla Syain”,atau segala sesuatu itu bersifat umum namun yang
dimaksud khusus atau terbatas.Karena angin topan itu tidak menghacurkan semua
yang diatas bumi dan planet lainnya.Hanya menghancurkan sebatas kaum ‘Ad saja.
Demikian pula dalam Firman Alloh swt,Q S.Ali Imron 159
“Ajaklah
mereka bermusyawarah dalam suatu urusan…”
Kalimat
“al-amr”,atau suatu urusan adalah tidak bermakna umum pada semua urusan,baik
urusan duniawi dan urusan ibadah.Kan tidak mungkin untuk urusan ibadah itu
wajib atau tidak atau zinah itu haram atau boleh harus di musyawarahkan
terlebih dahulu?.Lucu jadinya,kalau hendak berzinah harus musyawarah tentang
keharamannya terlebih dahulu. Demikian juga dengan hadis :
“Barangsiapa
membuat hal baru yang tidak ada hubungannya dengan perkara kami,maka itu
tertolak” (Muttafaq ‘alaih)
Kalimat
( Ma laisa minhu ), “yang tidak ada hubungannya dengan urusan kami”, menjadi
pembatas atas kesesatan hal-hal yang baru. Artinya,jika masih ada hubungan
dengan urusan-urusan agama yang sesuai dengannya dan tidak bertentangan dengan
syara’, tentu hal-hal yang baru tersebut tidaklah sesat.Karena pada
kenyataannya banyak qorinah / indikator yang mendukung penafsiran hadis-hadis
diatas,bahwa ada bid’ah yang terpuji, yaitu yang berdasarkan dalil-dalil
syariat atau tidak bertentangan dengan syari’at, sekalipun di jaman Nabi SAW
tidak pernah dilakukan.
Bersambung
ya, Insyaalloh...
0 komentar:
Posting Komentar