Blogger news

Pages

Kamis, 28 November 2013

Bid’ah Sesat dan Bid’ah Nikmat Bag. 1



Di jaman sekarang ini, bid’ah menjadi sebuah peristilahan yang digunakan sebagai senjata yang teramat tajam untuk menuduh seseorang atau sekelompok orang berada dalam dlolalah,atau kesesatan yang berujung tuduhannya pada kekufuran(takfiry). Dengan istilah tersebut,harga kekufuran menjadi murah dan dijual dengan bebas.Setiap orang dengan mudah dicap ‘tukang bid’ah” yang sudah pasti sesat. Seolah sudah tidak ada lagi orang-orang yang beriman didunia ini, karena mereka telah dituduh melakukan bid’ah dengan pemaknaan yang sempit.
 Jika kondisi tersebut terus berlangsung, maka surga yang luasnya seluas langit dan bumi,
…wa jannatin ‘ardluhassamawati wal alrd (Al Imron 31), tentu akan mengalami kekosongan. Itu pulalah mengapa Nabi Muhammad SAW,melarang umatnya untuk cepat-cepat menuduh orang-orang yang telah beriman dengan kekufuran. Diriwayatkan dari Anas r.a. bahwa nabi Muhammad SAW bersabda :
 “Tiga prinsip keimanan : mencegah dari pengkafiran terhadap seseorang yang telah berkata La ilaha ilallah (tiada ilah selain Alloh) hanya karena perbuatan dosanya dan juga kita tidak mengeluarkannya dari Islam hanya karena amal maksiat yang dilakukannya.Dan jihad tetap ada sejak Alloh mengutusku hingga umatku yang terakhir,memerangi Dajjal yang tidak mampu dikalahkan oleh kedzaliman orang yang dzalim atau keadilan orang yang adil (kecuali dengan kekuatan Alloh).Dan iman terhadap takdir (ilmu Alloh SWT) “(HR.Abu Dawan,Muhammad Alawy al Maliki al Hasani,Mafahim Yajibantushohhah,hal 6)
 Mudah menuduh kepada orang-orang yang beriman sebagai pelaku bid’ah yang dlolalah tentu tidak sesuai dengan prinsip keimanan yang diajarkan Nabi SAW. Dan sebaliknya,orang-orang yang gemar mengobral tuduhan bid’ah dlolalah kepada sesama orang Islam tanpa memperhatikan argumentasi yang dibangun oleh orang-orang Islam yang tertuduh atas perilakunya, itu adalah kefasikan yang tidak pernah diajarkan Nabi Muhammad saw.
 Mafhum bid’ah menurut kelompok Wahhabiyyah yaitu sebuah kelompok yang yang pemikirannya selalu dinisbatkan kepada Muhammad bin Abdul Wahhab,mereka (salah satunya,H Mahrus Ali ) berpendapat bahwa bid’ah adalah : “… segala ajaran yang tidak diajarkan dimasa Nabi SAW dan sahabatnya tidak boleh diajarkan setelahnya…” (Mantan Kiai NU,Menggugat sholawat dan dzikir,syirik,hal 127)

Demikian juga Sholeh al Utsaimin (tokoh Wahhabiyyah juga) memiliki pendapat yang lebih ekstrim tentang bid’ah :
 “Ucapan Rasulullah,kullu bid’atin dlolaalah,’semua bid’ah adalah sesat’, adalah bersifat umum, menyeluruh dan dipagari dengan kalimat menyeluruh dan umum yang paling kuat yaitu “kull” (seluruh).Apakah setelah adanya kalimat “menyeluruh”/”kull” ini masih dibenarkan kita membagi bid’ah mejadi 3 atau 5 ?.Selamanya, ini tidak benar” (Muhammad bin Sholeh al ‘Utsaimin,al ibda’ fi kamal al syar’i wa khatar al ibtida’,hal 13,ini hasil kajian Tim Bahtsul Masail PC NU Jember dalam buku mereka ‘Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Sholawat & Dzikir Syirik”.)
 Pernyataan Utsaimin diperkuat dengan pernyataan Hammud bin Abdullah al Mathor (juga dari Wahhabiyyah) :”Barangsiapa membagi bid’ah menjadi bid’ah hasanah dan bid’ah saiyah (yang buruk) maka dia telah melakukan kekeliruan dan menyalahi sabda Nabi Muhammad SAW tersebut (Hammud bin Abdullah al Mathor,Al bida’ wa al muhdatsatu wa ma la ahslalahu,terj. Ensiklopedia bid’ah,hal 97)
 Demikian pemahaman mereka ketika menafsirkan hadis Nabi SAW; “Kullu Bid’atin Dlolalah “,(Setiap hal yang baru adalah sesat).
 Namun,memahami hadis tersebut dengan tafsiran bahwa bid’ah tidak bisa dibagi-bagi adalah sebuah pemahaman yang sempit dan tidak berdasarkan pada kajian ilmiah yang rasional. Bahkan mereka yang berpendapat seperti itupun akhirnya melanggar dan tidak konsisten dengan pendapatnya. Hammud bin Abdullah al Mathor misalnya,akhirnya juga telah membagi bid’ah atau ibtida’ (membuat suatu yang baru) menjadi dua. Pertama , Bid’ah dalam urusan dunia dan kedua ,bid’ah dalam urusan agama (ibid,hal 24).
 Demikian juga al ‘Utsaimin,tidak konsisten dengan pendapatnya sendiri. Dalam kitabnya yang lain,Syarh al ‘aqidah al wasithiyyah,hal 639-640,menyatakan :
 “Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia adalah halal,kecuali ada dalil yang mengharamkannya.Tetapi,hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan agama adalah terlarang lagi bid’ah kecuali ada dalil dari Al Qur’an dan as sunnah yang menunjukkan keberlakuannya”
 Lihatlah pada kalimat beliau tersebut,Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan agama adalah terlarang lagi bid’ah kecuali ada dalil dari al quran dan sunnah…,sangat sarat dengan ketidak konsistenan dengan pendapat sebelumnya. Kecuali kalau dia mengenal istilah- yang dipakai Imam As Syafi’i- qaul qodim dan qoul jadid - pernyataan lama dan pernyataan baru.Tapi jika ada qoul jadid, Imam as Syafi’i dengan jujur menganulir qoul qodimnya.
 Yang bisa kita simpulkan dari pendapatnya: pertama, bahwa bid’ah itu ada dua macam, bid’ah dalam urusan dunia dan bid’ah dalam urusan-urusan agama.Yang kedua,baik dalam urusan-urusan dunia maupun dalam urusan agama, ada bid’ah yang bisa diterima selama berlandaskan pada dalil-dalil Al Qur’an dan as sunnah.
 Tanggapan Ulama’ Ahlu Sunnah Wal Jama’ah
 Mafhum bid’ah dalam pandangan ahlus sunnah wal jama’ah, sangat argumentatif,realistis dan rasional.Oleh karena itu mereka menafsirkan hadis “semua bid’ah itu sesat” adalah kata-kata umum yang harus dibatasi, ‘am makhshush, maksudnya adalah semua bid’ah yang tercela yang sudah pasti bertentangan dengan syari’at, itulah yang sesat (DR. As Sayyid Muhammad, mafahim yajibu antushohhah,hal 33).
 Karena memang dalam menafsirkan hadist tersebut tidak hanya melihat dhohir (teksnya) saja,namun seharusnya dikaitkan dengan qorinah-qorinah lain untuk bisa memahami konteks hadis tersebut.Oleh karenanya Imam Nawawi dalam syarah Shahih Muslim,jilid 6/154) menafsirkan hadis tersebut sebagai berikut:
 “Sabda Nabi SAW , “Semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang dibatasi maksudnya. Dan yang dimaksud oleh hadis itu adalah gholibnya atau biasanya/terkadang bid’ah itu adalah sesat”
 Hadis tersebut senada dengan hadis ; “Kullu ma’rufin shodaqoh” semua kebaikan adalah shodaqoh (Riwayat dari al Bukhori). Pertanyannya apakah semua kebajikan yang diberikan kepada seseorang bisa dianggap shodaqoh yang berpahala ?. Apakah jika ada manusia yang membantu pembangunan sebuah gereja dianggap shodaqoh?, apakah jika seseorang memberikan seekor ayam untuk sesajen pada pohon bisa disebut shodaqoh yang berpahala?,apakah jika ada beberapa orang yang saling membantu untuk mensukseskan kemaksiatan juga disebut shodaqoh?. Tentu jawabannya, tidak kan? Dan dengan jawaban tersebut berarti telah membatasi hadis “semua kebaikan adalah shodaqoh.Karena tidak semua kalimat “kull” mengharuskan bersifat umum atau menyeluruh.Sebaliknya terkadang bersifat umum yang dibatasi dengan qorinah-qorinah (indikator) dari hadis lainnya.
 Demikian juga dengan Firman Alloh swt,surat al Ahqof ayat 25 mengenai angin topan yang menimpa kaum ‘Ad:
 “(Angin topan itu) menghancurkan segala sesuatu atas perintah Tuhannya”
 Kalimat Alloh swt “Kulla Syain”,atau segala sesuatu itu bersifat umum namun yang dimaksud khusus atau terbatas.Karena angin topan itu tidak menghacurkan semua yang diatas bumi dan planet lainnya.Hanya menghancurkan sebatas kaum ‘Ad saja. Demikian pula dalam Firman Alloh swt,Q S.Ali Imron 159
 “Ajaklah mereka bermusyawarah dalam suatu urusan…”
 Kalimat “al-amr”,atau suatu urusan adalah tidak bermakna umum pada semua urusan,baik urusan duniawi dan urusan ibadah.Kan tidak mungkin untuk urusan ibadah itu wajib atau tidak atau zinah itu haram atau boleh harus di musyawarahkan terlebih dahulu?.Lucu jadinya,kalau hendak berzinah harus musyawarah tentang keharamannya terlebih dahulu. Demikian juga dengan hadis :
 “Barangsiapa membuat hal baru yang tidak ada hubungannya dengan perkara kami,maka itu tertolak” (Muttafaq ‘alaih)
 Kalimat ( Ma laisa minhu ), “yang tidak ada hubungannya dengan urusan kami”, menjadi pembatas atas kesesatan hal-hal yang baru. Artinya,jika masih ada hubungan dengan urusan-urusan agama yang sesuai dengannya dan tidak bertentangan dengan syara’, tentu hal-hal yang baru tersebut tidaklah sesat.Karena pada kenyataannya banyak qorinah / indikator yang mendukung penafsiran hadis-hadis diatas,bahwa ada bid’ah yang terpuji, yaitu yang berdasarkan dalil-dalil syariat atau tidak bertentangan dengan syari’at, sekalipun di jaman Nabi SAW tidak pernah dilakukan.
 Bersambung ya, Insyaalloh...

0 komentar:

Posting Komentar